Minggu, 27 Desember 2015

Sepertinya Papa Cemburu

"Pa, jemput ya pa jam 3 sore. Makasih papa"
●●●
"Dimana anak ini"
"Pak, apa bapak melihat siswi kelas X bernama Nia?" Mungkin begitulah kira-kira saat papa bertanya pada satpam sekolah karena tak kunjung menemukanku setelah menunggu dari jam 3 sore hingga lebih dari jam 5 sore.
Ponselku kehabisan batere.
Aku juga lupa tak memberi tahu papa kalau tiba-tiba aku ada latian teater.
Aku yakin papa pasti begitu khawatir.
Tapi aku terlalu asyik dengan Kak Dimas hingga aku lupa jika papaku menjemputku.
Kak Dimas, kakak kelasku, dia begitu menawan, cerdas dan berparas menarik.
Akhir-akhir ini kami menjadi dekat dengan semakin seringnya latihan teater menjelang pentas.
Sore itu Kak Dimas menawarkan untuk mengantar aku pulang.
Gadis mana yang bisa menolak tawaran Kak Dimas? Kurasa hanya gadis abnormal saja yang mampu mengabaikannya.
Aku tiba di rumah dan membiarkan Kak Dimas pulang tanpa bertemu mama.
"Assalamu'alaikum, ma"
"Lho, kamu pulang sama siapa, nak? Papa mana?"
"Papa belum pulang, ma?"
"Tadi papa bilang jemput kamu. Mama kira kalian pergi makan dulu, jadi lama"
"Ma, tadi hpku lowbat. Coba mama telpon papa deh ma. Bilang aku udah pulang"
●●●
Semakin hari aku semakin sibuk dengan gadgetku.
Aku semakin intens berhubungan lewat chat online dengan Kak Dimas sampai-sampai aku yang biasanya selalu bertengkar dengan papa ketika kami memilih tempat makan, kali ini membiarkan papa membawa aku dan mama ke mana pun papa ingin.
Malam ini papa mengundang sepupu papa dan sepupuku untuk makan bersama kami di food carnival.
Aku masih saja sibuk dengan gadgetku hingga mama mulai pembicaraan mengenai Kak Dimas. Mama ingin menggodaku di depan sepupuku, Mbak Vina.
Aku malu-malu dan berusaha menampik hal-hal yang dikatakan mama.
Tapi tiba-tiba papa berkata "Iya, itu Vin. Minta jemput papanya, gak taunya pulang sama cowo. Giliran cowonya diminta masuk rumah ketemu papanya, dia ga berani"
Aku terdiam mendengar papa bercerita ke Mbak Vina.
Aku terus saja melihat papa bercerita dengan mukanya yang semakin merah padam, seperti marah.
"Kalo kayak gitu kan ga usah papa lagi ya. Biar aja tuh sama cowo barunya"
"Coba, Vin, kasih tau ke sepupumu ini, kasih nasehat harusnya dia seperti apa"
Papa terus saja bercerita dan menyampaikan semua uneg-uneg yang selama ini tak pernah papa ungkapkan.
Aku hanya diam, ingin sekali membela diri. Tapi untungnya Mbak Vina orang yang bijak menengahi papa dan aku.
Mbak Vina memahami betapa sayangnya papa pada anak perempuan semata wayangnya.
Mbak Vina pun menasehatiku dengan gayanya yang sama sekali tak menggangguku, tak terdengar seperti menggurui.
"Sepertinya papa kamu cemburu"
Satu kalimat Mbak Vina yang begitu membuatku sadar untuk kembali menjadi aku yang dulu, sebelum ada Kak Dimas dalam keseharianku.
Aku mengerti selama ini papa dan mama sangat menyayangiku. Tapi, papa begitu sulit mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Dan aku pun tidak peka terhadap perasaan papaku.
Aku sadar, selama ini aku cukup banyak berubah setelah mengenal Kak Dimas. Begitu banyak momen berharga bersama papa dan mama yang aku lewatkan hanya karena seorang Kak Dimas yang membuatku jatuh hati. Hingga aku lupa, bahwa aku punya orang-orang yang telah mencintaiku bahkan sebelum aku terlahir di dunia. Mereka yang mempersiapkan segalanya untuk masa depanku. Berkorban dengan sekuat tenaga dan segenap cinta untuk memberikan yang terbaik bagiku.
Aku menyadari bahwa Kak Dimas hanyalah remaja laki-laki yang baru saja masuk ke duniaku. Dan sesungguhnya, rasa sukanya padaku tak akan bisa mengalahkan cinta, kasih sayang, dan pengorbanan mama dan papaku.
●●●

Jumat, 20 November 2015

Bersamamu, Ibu

"Mad, pindah" kata Khalfi sambil mengusir Rahmad yang menduduki tempat dudukku.
Aku baru saja sampai dan masih ngos-ngosan setelah naik tangga sampai ke lantai 3.
Baru saja aku duduk, belakangku sudah memanggil dan aku pun menengok "Ra, dari Mbak Lusi"
Sebuah undangan resepsi pernikahan bersampul keras berwarna hijau. Mbak Lusi adalah kakak tingkatku di kedokteran, beliau angkatan 2011 dan kami saling mengenal karena pernah menjadi delegasi lomba ke Semarang. "deg" rasa hatiku saat menerimanya. Bukan galau karena ingin segera menyusul, tapi aku terharu. Kami saling mengenal tak terlalu lama, tapi Mbak Lusi masih ingat saja pada adek tingkatnya yang satu ini. Ku akui beliau salah satu figur kakak tingkat yang bisa jadi salah satu panutan. Tanpa pacaran dan menye-menye anak muda, tiba-tiba bulan Syawal kemarin Mbak Lusi mengganti statusnya menjadi "Menikah". Aku turut berbahagia. :) Semoga sakinah mawaddah wa rahmah, barakallahulakum. Aamiin
Hari ini pelajaran jam pertama tak berlangsung lama, beberapa temanku melanjutkannya dengan sarapan. Satria dan Hakiem membawa bekal, nasi goreng masakan Satria. Enak juga. Kata orang, ketika laki-laki bisa masak, dia romantis. Hahaha
Bukan masalah itu, tapi aku cukup malu jika harus kalah dengan seorang laki-laki seperti dia dalam urusan memasak. Asal bicara, aku langsung nyeletuk "Sat, kamu mau ga jadi istriku? kapan lagi ada cewe ngelamar kamu? hahahaha"
Beberapa hari ini Satria selalu membawa makanan yang ia bawa sendiri dan dibagi ke teman-temannya seperti aku. Bahkan dia janji hari Jum'at mau membawakan aku bekal makan siang masakan dia. Kami bersahabat, hidup dalam satu perkumpulan yang tidak sengaja diberi nama AEON. Aku merasa tertantang seperti apa nantinya hasil masakannya. Aku sendiri belum pandai memasak, belum sebulan aku tinggal di kos baruku yang dilengkapi dapur. Aku sudah mulai belajar memasak, tapi aku masih belum percaya diri. Aku saja melarang Rahmad mencicipi bekal masakanku, karena memang Rahmad adalah tipe orang yang suka mengomentari makanan. Aku malu, takut ternyata rasanya tidak enak dan akan mendapat olok-olok dari Rahmad. Hanya dua orang yang benar-benar aku biarkan memakan masakanku hari ini, Khalfi dan Fika, ya mereka adalah sahabat perempuanku yang aku percaya.
Siang ini perkuliahan berjalan cepat, pukul 13.00 aku sudah bisa pulang. Tak sengaja menemukan seorang penjual mangga. Aku tiba-tiba ingin membelinya.
"Berapa, pak?"
"22.000 mbak, satu kilonya 15.000"
(Hah? semahal itu kah? Jujur aku ga tau harga mangga di pasaran)
Aku biasa menikmati mangga gratis di rumah. Karena aku punya sebuah pohon mangga yang selalu berbuah tiap tahunnya. Sampai kos aku ingin sekali menelpon ibuku. Teringat semua kejadian hari ini, aku teringat ibu. Sambil ingin bertanya tentang mangga di rumah, apakah sudah berbuah.
Aku memencet tombol dial dan menunggu sampai ibu mengangkat. Namun ibu tak kunjung menjawab telponku. Aku sadari, saat itu adalah waktu tidur ibuku. Baiklah
Bu, aku kangen. Ingin rasanya pergi meninggalkan semua yang ada disini dan pulang, tidur sama ibu.
Bu, wujud perhatianku tak bisa kuucap dengan kata-kata. Tapi aku benar-benar ingin berbakti pada ibu. Apa yang bisa kulakukan, Bu, untuk membahagian ibu selain sekolah dan belajar dengan benar?
Aku akan mengerjakannya semampuku. Aku ingin membantu meringankan bebanmu, tapi aku pun tak punya cukup daya dan usaha. Ingin berbisnis pun, aku bingung. Aku cukup menghabiskan waktuku di kampus untuk kuliah seharian penuh dan dilanjut rapat hingga matahari terbenam. Aku hanya bisa berhemat saat ini. Menahan segala keinginan beli ini itu untuk menabung dan mungkin nantinya akan memulai sebuah usaha kecil-kecilan. Mudah-mudahan saja berhasil.
Melihat undangan dari Mbak Lusi dan mengingat Ibu secara bersamaan membuatku teringat sebuah obrolan kami saat itu.
"Bu kalau aku lanjut kuliah di luar negeri, ibu seneng?"
"Biayanya gimana?"
"Beasiswa, Bu, doakan saja. Kalau kayak gitu gimana, Bu?"
"yaaa, seneng... tapi nanti anak ibu hilang lagi"
 Itulah seorang ibu, terlebih di masa tuanya, pasti menginginkan bersama dengan buah hatinya. Aku sangat memahami itu. Oleh karenanya aku tak benar-benar kekeuh ingin pergi jauh. Tak seperti dulu, aku selalu ingin kuliah di tempat yang jauh dari rumah, agar aku tak pulang-pulang. Aku kuliah di Malang dan aku sangat bersyukur Malang-Gresik bisa ditempuh paling cepat dalam 2.5 jam dengan kendaraaan pribadi, dan sekitar 4 jam dengan kendaraan umum. Aku bisa pulang kapan saja aku ingin dan mampu.
Tapi sayangnya, aku cukup jarang pulang. 1-1.5 bulan sekali. Padahal targetku 2 minggu sekali aku bisa pulang.
Semuanya karena kegiatan di kampus.
"Jadi kamu nyalahin kegiatan kampus"
"Engga sih, cuma ya gitu lah" 
Hahaha bicara sendiri adalah salah satu hal yang cukup sering kulakukan jika sedang merasakan sebuah pergolakan.
3.5 tahun kuliah S1, lanjut 1.5-2 tahun pendidikan profesi, dan 1 tahun internship. Itu bukan waktu yang cepat. Selama itu aku harus berada di luar rumah. Meninggalkan keluargaku terutama ibuku.
Pernah suatu ketika kakakku berkata "kamu ga usah punya kamar ya, toh nanti setelah lulus kamu menikah dan keluar dari rumah"
Segitunya? Sejarang itukah aku pulang hingga kamarku mau diambil alih? Tapi memang benar, aku sudah jarang memakai kamarku, setiap pulang pun aku tidur di kamar ibu.
●●●
"Kamu nikah aja sama orang Lumajang"
"Orang Lumajang siapa cobaa?" Tanyaku sedikit nyolot pada kakak perempuanku
Kami sedang bercanda saat itu, masih dalam suasana lebaran Ied Fitri, hingga turunlah dari lantai 2 kakak laki-lakiku, sekaligus Waliku.
"Coba, coba tanya ke bapak wali" kata Mbak Icha
"Kalo aku nikah sama orang Gresik gimana?"
"Enak dong deket, ya kalo bisa yang deket"
"Kalo orang Jawa Barat? Kalimantan? Probolinggo?"
"Jauh amat"
"Kalo orang Malang?"
"Banyak banget sih pilihannya.. emang laku?" Kalimat terakhir itu membuatku diam menahan tawa dan bertanya pada ibuku
"Bu, kalo ternyata jodohku bukan orang daerah sini atau nanti habis nikah aku hidupnya pindah-pindah ngikut suami gimana, Bu?"
"Terserah kamu, paling ibu juga udah meninggal"
Sebuah kalimat yang singkat dan menakutkan. Setelah ibuku kehilangan ayah memang ibu jadi sering begini. Seperti kehilangan sebagian besar semangat hidup.
Tapi, Bu...
Haruskah yang Ibu bayangkan seperti itu? Apa Ibu tidak ingin melihat aku jadi orang dewasa yang sesungguhnya?
Bu jika waktu bisa dihentikan, aku akan minta waktu berhenti saat ibu bersamaku, saat kita bahagia, tanpa sedih sedikitpun.
Tapi, Bu. Hidup memang sudah diatur segalanya oleh Allah.
Kita tak tahu, bisa saja aku pergi lebih dulu sebelum ibu.
Tapi yang pasti, siapapun yang mendahului, aku ingin terus bersama ibu, kelak di surga, berkumpul dengan keluarga dan orang-orang yang kita cinta.
Saat ini, aku benar-benar ingin pulang.
-Bahira-

Jumat, 09 Oktober 2015

Seminggu untuk Selamanya

"Diberitahukan kepada penumpang pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 0706 tujuan Surabaya, karena alasan operasional penerbangan  ditunda hingga pukul 15.30 waktu setempat. Mohon maaf atas keterlambatan ini"

Aku tergeletak lemas karena kurasa kurang istirahat dan telah menunggu dari pukul 09.15 WITA smpai 13.35 WITA di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.

Lelah memang, tapi tidak terasa karena masih sangat melekat euforia yang terjadi dini hari tadi.

●●●

"Peringkat tiga, setara perunggu untuk PKMP kelas 6, diraih oleh....."

"Allahummasholli 'ala sayyidina Muhammad, Ya Allah hamba mohon Ya Allah kabulkan doa hamba dan teman-teman hamba kali ini, Allahummasholli 'ala sayyidina Muhammad" mata yang telah memanas hampir pukul setengah dua belas malam ini memejam. Bukan untuk tidur, tapi berdoa sepenuh hati, menanti pengumuman juaranya.

"Universitas Udayana......"

"UNUD? How can? Sepertinya ini persaingan sulit." Sahut salah satu partner dalam timku.

Pengumuman itu sangat diluar ekpektasi. Sebagai peserta ajang ini, aku memperhatikan siapa-siapa yang kira-kira berpotensi menjadi juaranya. Aku mengira, 3 terbaik dari 20 tim di ruanganku adalah UNAIR, UGM, UB, atau IPB.

"Selanjutnya, peringkat kedua, setara perak, diraih oleh......"

Doa-doa semakin kencang terucap dalam hati yang semakin terguncang.

"Universitas..........
Brawijaya"

Seketika itu semua pasukan kontingen UB berdiri dan meneriakan jargon "Siapa kita? BRAWIJAYA! Siapa kita? BRAWIJAYA! Siapa kita? BRAWIJAYA! Brawijaya, satu kata, satu jiwa, Brawijaya JUARA!"

Senang? Pasti !
Tapi, tim siapa? Di ruang PKMP 6 ada 2 tim dari UB. Tim dari REVERT atau EBES juaranya? Kami tak sempat mendengar nama pemenangnya karena teriakan kontingen yang begitu bersemangat.

Galau? Sangat!
"Aku yakin itu tadi tim kita" kata ketua timku, meyakinkanku yang begitu khawatir.

"Gen, itu tadi tim siapa ya, Gen?" Tanyaku pada Genitri, teman satu kontingenku. Dia juga tengah merasakan hal yg sama. Ketika juara dari ruang PKMP 5 disebut, UB meraih perak, tapi kami tak tahu tim siapa karena ada 2 tim Brawijaya di ruang itu.

"Ah yasudahlah, ikhlas aja yah apapun yg terjadi"
"Semoga REVERT ya, Ir" Lila memberikan kekuatan padaku. Tim Lila pun telah meraih medali perak untuk kategori presentasi di ruangan PKMP 3.

Pembacaan pemenang masih terus berjalan.
Semakin memanas karena skor UB, ITS, dan UGM terus susul menyusul.
Jargon UB sudah berkali-kali diteriakkan. Lompatan, ucapan syukur, sholawat, basmalah, apa saja kami lakukan.
Mules, deg-degan, takut, senang bercampur jadi satu.
Tahun ini UB benar-benar menargetkan untuk merebut gelar juara umum dalam PIMNAS 28 di Universitas Halu Oleo, Kendari.

Sambil terus mendoakan yang lain, doa untuk tim sendiri juga terus terangkai.
"Kalau ternyata itu bukan REVERT, mungkin rasanya akan seperti ketika besok adalah hari akad nikah, tapi batal"

Ikhlas tapi masih berharap. Bisa disebut ikhlas? Entah. Tapi yang pasti aku yakin kalau berharap itu boleh, dengan berharap artinya kita yakin Allah bisa melakukan apapun

●●●●

"Seminggu untuk selamanya" salah satu potongan lirik Mars PIMNAS yang ditulis oleh Rektor UHO ini benar-benar mengena.

Kenangan 1 minggu yang mungkin tak kan terlupa.
Kini, aku rindu sekali dengan ibu. Ingin kuucap terima kasihku karena ibuku selalu mendoakanku.

Aku juga merindukan ayah.
"Semoga kamu sukses" adalah doa ayah saat beliau sakit di penghujung usianya. Aaamiin. Semoga ini adalah permulaan dari terkabulnya doamu, yah. Aku yakin doa orang sakit itu mustajabah.

Kini tinggal ibu yang selalu mendoakan, tapi aku lebih yakin lagi bahwa doa seorang ibu sangatlah mudah dikabulkan.
Ibu, ku inginkan pulang.
Maaf jika aku terlalu sibuk dengan urusanku.
Bukan berarti aku tak rindu. Aku hanya ingin menuntaskan amanah  yang telah diletakkan dipundakku.
Kuharap engkau sehat dan bahagia selalu, ibu :')

-Seseorang yang sedang merindu-

Jumat, 25 September 2015

Sacrifice ; Selfless way to love

"Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar
Laa ilaha illallahu Allahu akbar"
Kumandang takbir sepanjang malam hingga menjelang sholat ied sungguh membuat suasana lebaran hajiku tahun ini meriah. Apa istimewanya? Bukankah setiap hari Ied pasti ada takbiran? Ya betul, tapi tahun ini berbeda karena tahun ini aku kembali merayakannya di rumah setelah 2 tahun di tanah rantau merayakan qurban di desa dan di kampus bersama teman-teman :')

Sholat Ied di Masjid Al-Amin, mendengarkan setiap kata dari khutbah yang disampaikan dengan penuh khidmat.
Menceritakan kisah seorang hamba yang masuk surga karena ia selalu berqurban setiap tahunnya. Dalam keadaan miskin, beliau bertekad untuk selalu berqurban setiap hari raya Iedul Adha dengan menabung setiap harinya, menyisihkan uangnya, bahkan mengesampingkan kebutuhannya agar bisa membeli hewan qurban. Hal ini ia lakukan karena kecintaannya kepada Allah SWT.
Hingga ketika beliau meninggal, seseorang ingin bertemu dengannya dalam mimpi. Setelah sholat 2 rakaat, orang tersebut tidur dalam keadaan telah berwudlu dan meminta Allah untuk memperlihatkan dalam mimpinya kondisi tuan miskin setelah meninggal.
Orang itupun bermimpi dia sedang dalam hari pembangkitan dan dilihatnya tuan miskin menaiki kendaraan yang indah dan kuat melewati shirathal mustaqim menuju surga. Mereka bercakap sebentar dan tuan miskin berkata bahwa Allah telah mengampuninya, yang dinaikinya adalah qurban-qurbannya selama ia hidup, dan yang menjadi tunggangannya adalah qurban pertamanya di dunia.
Khutbah pertama kemudian ditutup dengan motivasi dari khotib bahwa orang miskin saja mampu berqurban, bagaimana dengan kita yang sebenarnya berkecukupan?

Khutbah tersebut cukup menyentil dan aku pun merasa tersindir.
Ya memang aku belum memiliki penghasilan tetap, tapi bukankah seharusnya aku juga bisa seperti tuan miskin tadi?
Terlebih tahun ini ternyata keluargaku berqurban, semua anggota rumah ikut patungan untuk membeli seekor sapi, kecuali aku. Aku juga tak tahu kalau tahun ini kami berqurban. H-1 hari raya aku baru mendapat cerita dari kakakku kalau semua (kecuali aku) patungan untuk membeli hewan qurban. Semuanya tak direncanakan, kakakku berkata awalnya juga mengira bahwa kami tidak berqurban tahun ini, tapi tiba-tiba ibu memutuskan untuk berqurban seraya berkata "Dengan qurban pasti rezeki makin lancar, diganti sama Allah lebih banyak"
Semangat ibuku sudah kembali setelah ayah pergi. Ibu semakin bersemangat mencari rezeki, semakin percaya bahwa Allah sudah memplot rezeki untuk kami.

Sholat Ied dilanjut dengan makan bersama keluarga besar ibu dan menziarahi makam ayah. Hari itu pertama kalinya ibu mengunjungi makam ayah, air matanya langsung mengalir. Inilah bentuk cinta seorang istri. Masa iddahnya baru habis sekitar 10 hari yang lalu. Hidup bersama selama lebih dari 30 tahun, satu sama lain pasti sudah banyak berkurban, lika-liku kehidupan rumah tangga dijalani hingga ajal yang memisahkan.

●●●

"Waaah senang ya"
Aku mendengar suara itu tepat dari sampingku, Mbak Sila, pegawai setia dari kakakku ikut membantu proses pemotongan hewan di rumah kami. Dia sedang mengobrol dengan Mbakku.
"Aku belum pernah mbak pegang daging sebanyak ini, kalau di kampung biasanya ada orang qurban ya nggak ikut2an kayak gini"
"Ya Allah senengnya yaaa, makan daging setahun sekali"

(Deg) lagi-lagi aku mendapat sebuah peringatan, hingga aku berpikir "apa benar makan daging hanya setahun sekali? Betapa dzolimnya aku jika aku tak bersyukur padahal setiap hari aku bisa makan daging kapanpun aku ingin"

Aku berpura-pura tidak mendengar obrolan mereka dan terus melanjutkan pekerjaanku memisahkan daging-daging dari tulang di kaki-kaki sapi di depanku. Sesekali aku mengasah pisau yang mulai tak tajam sembri terus mengasah hati yang cukup tak peka terhadap sekitar. Capek memang, tapi melihat semangat tetangga-tetanggaku yang turut membantu, rasa lelah itu tak sebegitu terasa. Terlebih ketika melihat orang-orang yang datang berterima kasih senang karena mendapat satu kresek kecil daging untuk dibawa pulang.

Aktivitas pagi ini di akhiri dengan makan siang bersama tetangga-tetangga rumahku setelah kami cukup lelah berjuang bersama daging-daging dan tulang-tulangnya.

Dokumentasi hari ini aku lampirkan.
Semangat baru semakin membara.
Aku sedang merintis sebuah usaha bersama 4 orang temanku. Semoga usaha kami lancar dan diberi keberkahan.
Semoga hasil usaha itu bisa digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
Aaamiin Ya Rabbal'alamin
Senang sekali jika kamu, yang membaca tulisan ini, juga bersedia untuk mendoakan kami :)

Selamat hari raya Idul Adha, semoga tahun berikutnya kita diberi kesempatan untuk berqurban dan menunjukkan cinta kita kepada Allah. Aamiin
Sacrifice is a selfless way to love :)

Warmest regards,

Bahira

Senin, 24 Agustus 2015

4 nilai, 2 pilar, banyak budaya, FKUB

-Religius, moralis, intelek, professional, kolegalitas, kepemimpinan-

Selamat pagi,
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Tak terasa sebentar lagi musim ospek.
Saya seorang mahasiswa tingkat tiga di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Sejak awal ospek, disini kami menyebutnya Probinmaba, saya makin jatuh hati dan merasa sangat beruntung Allah menakdirkan saya menuntut ilmu disini. Why? Kenapa? Kok bisa begitu? Bukankah ospek adalah hal yang menyebalkan? Ya memang, kebanyakan ospek di luaran sana sangat extreme dan dibumbuhi dengan perpeloncoan. Tapi disini sangat jauh berbeda, senioritas tetap ada namun dalam kemasan yang indah. Evaluasi, bentak membentak, dan hukuman diberikan dengan cara yang anggun. Kalau tidak percaya, kalian coba saja ospek di FKUB hehe.
Baiklah, langsung saja saya ceritakan. Salah satu hal yang paling saya sukai dari kehidupan di FKUB adalah budayanya. Sejak awal masuk kami dikenalkan dengan budaya SPMK (Standar Pakaian Mahasiswa Kesehatan). Awalnya memang terlihat seperti ribet "ih ribet, pake baju saja ga boleh gini gitu", tapi jika kamu coba mendalami esensinya, pasti kamu tak menemukan kerugian dibalik memakai SPMK, justru membuat kalian terlihat indah. Selain cara berpakaian yang diatur, kami juga ditanamkan dengan nilai-nilai kolegium (ini harus hafal di luar kepala). Ada 4 nilai kolegium yang tersusun secara hierarki namun semuanya harus dimiliki dalam taraf yang sama. Religius, moralis, intelek, profesional. Nilai religius menjadi hal yang paling utama, tapi tetap tak mengesampingkan nilai-nilai lainnya. Semuanya sama penting dan sebisa mungkin dimiliki setiap orang, saya rasa bukan hanya mahasiswa FKUB. Susah memang, tapi paling tidak kita berusaha. Dalam probinmaba kami juga dikenalkan dengan pilar pembinaan yaitu kolegalitas dan kepemimpinan. Ke enam sifat ini tak bisa begitu saja dimiliki seseorang, melainkan memang harus dibiasakan dan dibentuk. Dalam prosesnya mungkin berat, tapi jika sudah bisa menjalaninya, pasti akan baik. Tak hanya itu, kami juga dikenalkan dengan budaya 5S no S. 5 S, Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun. Lalu no S ? NO SMOKING yah kita kan calon tenaga kesehatan yang kampanye anti rokok, mana boleh kita sendiri merokok. Sejak pulang ospek, saya jadi manggut-manggut kalo ketemu orang di jalan, kebiasaan di FKUB hehehehe.
Semua hal positif ditanamkan dalam rangkaian probinmaba yang berlangsung kurang lebih selama 1 tahun. Saya ingin berpesan pada adik-adik Maba, jangan pernah mengeluh. Kalian harusnya bersyukur karena kakak-kakak kalian telah berjuang mati-matian mempersiapkan ospek kalian. Pikiran, tenaga, perasaan, kantong dan semuanya diperas. Mereka memperjuangkan kebaikan kalian, mereka bela-belain ngabisin waktu libur mereka di kampus, demi kalian, jangan sia-siakan. Tugas-tugas yang diberikan pada kalian semuanya memiliki esensi. Saya hanya mahasiswa biasa, bukan bagian dari panitia ospek, tapi saya sangat miris jika ada orang tua / wali mahasiswa yang memprotes ospek di tempat kami. Saya bingung, apakah mereka tidak ingin anaknya tumbuh menjadi insan yang baik? Apakah mereka benar-benar terlalu sayang pada anak mereka hingga menginginkan segala kemudahan bagi anak mereka yang justru nantinya dapat menjerumuskan anak mereka kenjurang kemanjaan dan kelemahan? Kadang mereka berdalih tugas-tugas ospek mengganggu waktu belajar. Ayolah, mereka sedang dididik mengatur waktu, mereka sedang dibiasakan dengan kehidupan tenaga kesehatan yang nantinya akan jauh lebih keras dan menghabiskan banyak waktu. Toh disini mereka juga diperlakukan sangat manusiawi. Ayolah, orang hebat ga dibentuk dengan santai-santai, leyeh-leyeh, ketawa-ketiwi.
Sekian, mohon maaf bila ada yang kurang berkenan.
Terima kasih juga untuk kakak-kakak tingkatku yang baik hatinya ♡
Wassalam

Regards,
Bahira

*Sumber gambar : OFFICIAL LINE BEM FKUB

Sabtu, 08 Agustus 2015

Ini bukan hijrah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ukhtifillah,
Hmm baru pertama kali ini aku mencoba menggunakan kata itu.
Kurasa aku kurang pantas menyebutnya dengan lisanku. Hehe

Baiklah, hai sis :D

Aku ingin sedikit-banyak berbagi kisah, tentang hidayah dan taufiq.
Aku tak ingin menyebutnya sebagai "hijrah", karena kata-kata itu terlalu luar biasa dalam persepsiku.

Hidayah-
Ramadhan kali ini jauh berbeda dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, terutama beberapa tahun terakhir ini.
Tahun lalu, aku menghabiskan hampir 1 bulan ramadhan di kos, karena aku harus menempuh ujian dan semester pendek.
Tahun ini, hanya sekitar 3 hari di awal ramadhan yang aku lalui di kos.
Berkat rahmat Allah, aku mendapat nilai yang bagiku sendiri tak pantas ku dapat. Tapi memang rencana Allah lebih indah.
Dengan nilai itu, aku tak perlu menjalani semester pendek di tengah ramadhan. Aku bisa menghabiskan waktuku di rumah, membantu ibuku. Bedanya, tahun ini pertama kalinya aku melalui ramadhan tanpa ayah, ibu pun masih dalam masa iddah, sehingga belum bisa keluar untuk menjaga toko. Jadilah anak-anaknya berjuang bersama, mengompakkan diri membantu ibu.

Ramadhan kali ini aktivitasku cukup padat, aku tak bisa mengisi waktu-waktuku dengan ibadah sunnah, karena aku cukup lelah.
"Betapa sedihnya, ramadhan hanya datang 1 kali dalam setahun, belum tentu juga aku bertemu lagi tahun depan, tapi kenapa amalanku semakin menurun?"
Aku berpikir sendiri dan menemukan jawabannya.
"It's ok. You are doing right things kok, Ra. Kamu mendahulukan kewajiban membantu ibumu."
Pembelaan diri yang kulakukan hehe.
Selain membantu ibu, aku mengisi waktu pagiku untuk belajar agama di rumah kerabat yang sekaligus menjadi guruku.

"Aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan"
Ku rasa hampir semua perempuan muslim tahu akan hal ini. Tapi aku pun terkadang selalu punya pembelaan terhadap diriku untuk tak menutupnya dengan sempurna.

"Oleh karena itu, lengan sampai pergelangan tangan perempuan juga termasuk aurat, sebaiknya para perempuan memakai manset agar jika bergerak, lengan bajunya tidak tersingkap, dan aurat tetap dapat terjaga"
Ini pun, aku sudah beberapa kali mendengar. Tapi sepertinya hanya lewat telinga saja.
Hidayah ini tidak merasuk ke hati.

"Kaki perempuan juga aurat, maka dari itu hendaknya perempuan menutupnya, dengan kaos kaki misalnya"
Kalau yang ini, biasaya aku hanya memakai kaos kaki saat kuliah.

Ramadhanku terus saja berjalan dengan aktivitas-aktivitas yang telah ku uraikan. Aku, memang memakai kaos kaki ketika hendak berangkat ke toko atau kemanapun jika memakai motor. Why? Karena Gresik (tempat tinggalku) panas.
Itu memang alasan yang tak bernilai sama sekali. Tapi dulu aku melakukannya.

Hingga suatu ketika, tiba-tiba hidayah menelisik ke dalam hatiku.
Aku teringat akan sebuah tulisan yang pernah aku baca.
"Selangkah saja perempuan keluar rumah dengan membuka aurat, maka selangkah pula ayahnya terseret ke dalam neraka"
Ngeri bukan? Tapi dulu aku tak menggubrisnya.
Tapi entah kenapa semenjak ayah meninggal aku selalu menjadi perempuan yang mellow dan mudah galau, but I'm trying to be stronger.

Suatu ketika, selesai aku dan kakakku mengkaji agama, aku mencium tangan Budeku, yang merupakan ibu dari guruku sekaligus kakak dari Ibuku.
"Enak yo ayahmu, anak-e nurut-nurut kabeh ngene, wes tenang"
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maksud Bude adalah sekarang ayahku tenang di sana, karena anak-anaknya mau belajar ilmu agama dan penurut.
Entah kenapa kalimat itu begitu menusuk, tapi tak sakit.
Aku membayangkan bagaimana jika ayahku disiksa karena kesalahanku?

Aku pun teringat materi ceramah yang kusampaikan saat SMA (aku bukan penceramah, hanya sebatas tugas dari guru PAI).
Seorang wanita akan dipertaggungjawabkan oleh 4 laki-laki, ayahnya, suaminya, anaknya, saudara laki-lakinya.

Sepertinya Allah menancapkan hidaya ke qalbku.
Tapi apalah diri ini jika tak mendapat sokongan taufiqNya.

Taufiq-
Aku mulai membulatkan tekad. "Aku harus menutup kaki"
Karena hampir setiap hari aku pergi ke Pusat Grosir Surabaya untuk membeli keperluan toko, aku yang kebetulan mampir di toko kaos kaki pun tanpa pikir panjang meminta kakak perempuanku untuk membelikan setengah lusin kaos kaki warna coklat yang sedikit tebal. Harganya jelas lebih murah, karena aku membelinya grosir hehehe

Pagi-siang-malam, aku coba mengistiqomahkan diri untuk selalu memakai kaos kaki.
Beberapa kali ibuku bertanya tentang sikapku, aku belum berani berkata kebenarannya, aku hanya menjawab "biar ga gosong, bu. Pakai kaos kaki"
Tapi suatu ketika, ibuku melihatku memakainya di malam hari. Ibu pun langsung saja bertanya.
Entah, sepertinya Allah mengirimkan sebuah kekuatan padaku.
"Iya, Bu. Aurat" hanya dengan jawaban singkatku, ibuku diam dan sedikit tersenyum.

Perjalanan ini tak secepat itu. Aku belum berani memakai manset tangan, selanjutnya kita sebut saja handsock ya biar keren. Hihi

Aku hanya menimang-nimang handsock yang ada di toko. Perlu di ketahui, tokoku menjual keperluan sehari-hari, kaos kaki dan handsock pun ada, jadi jika aku perlu, tinggal ambil dan lapor ibu. Tapi kemudahan itu pun tak membuat aku sesegera mungkin memakainya. I don't know why. Mungkin seperti itulah hidayah tanpa taufiq.

Beberapa hari ini kakak laki-lakiku menjadi begitu cerewet dan bawel.
"Eh itu aurat" katanya ketika aku mengambilkan barang untuk pembeli sehingga lengan bawahku tersingkap.
Aku tak menggubrisnya, tapi memang nasihat itu perlu. Aku merasa mendapat dukungan terutama dari kakakku itu untuk menutup aurat sepenuhnya.

Aku memutar otakku lagi, mengaduk nuraniku. "Ini tinggal pakai, kamu ga perlu keluar uang lagi buat beli-beli di luar sana"
Butuh cukup waktu bagiku untuk menguatkan tekadku. Beberapa hari, 1 buah handsock mulai ku ambil dan ku pakai.

Aku mengutarakan niatanku itu di depan ibuku dan kakak perempuanku.
"Ga pake cadar sekalian?"
Aku diam dan menggelengkan kepala sambil tersenyum cengengesan ala anak bungsu.

Sudah hampir satu bulan aku sedikit berubah. Aku semakin percaya diri. Aku tidak tahu nanti bagaimana reaksi teman-temanku di kampus melihat sedikit perubahan ini. Tapi aku sangat berharap, apapun reaksinya, aku tetap akan istiqamah.

Untuk kawan yang juga sedang dilanda kebimbangan. Trust me. Jangan pernah ragu untuk berubah menjadi lebih baik :)
Aku mendapat ketenangan yang jaaaaauh lebih banyak dari sebelumnya.
Aku memang jauh dari sempurna. Tapi dengan perlahan melakukan perubahan menuju lebih baik, perubahan-perubahan lainnya akan mengikuti.

Menutup aurat tak perlu menunggu hatimu bersih sejernih air, tak perlu menunggu lisanmu selembut kapas, dan tak perlu menunggu tingkahmu seperti Puteri dan Ratu dalam Istana.
Yakin dan jadikanlah menutup aurat menjadi awal mula datangnya kebaikan dalam dirimu. Menambah rasa malumu. Semakin menjagamu.

Aku pun bukan perempuan yang sangat terjaga, diri ini masih penuh alpa. Tapi, tak ada yang salah dengan niatan dan usaha untuk menjadi lebih baik. Perlahan namun pasti menuju tujuan.
Tak usah berlari terlalu cepat. Karena aku takut, kita justru telalu cepat menjadi lelah, dan akhirnya berhenti.

Jika orang menghujat, yakinlah Allah akan menguatkan kita. :)

Dan bagi yang masih suka mengomentari orang. Tolong hargai. Hargai teman-temanmu yang ingin menjadi lebih baik. Bukankah menutup aurat itu menjalankan kewajiban agama? Ya. Kalian semua tahu itu. Lalu kenapa justru yang menutup aurat kalian pandang sebelah mata?

Sesungguhnya setiap apa yang seseorang kerjakan akan menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dan apa yang kamu kerjakan akan menjadi tanggung jawabmu sendiri.

Wallahua'lam bisshowab.

Wassalamu'alaikum :)

Kamis, 30 Juli 2015

Kursi Ayah

"Raa, Ira, Ra..."
Aku langsung berlari menghampiri ayah.
Akhir-akhir ini ayah sering sekali menghabiskan waktunya di teras. Menduduki sebuah kursi kayu yang ayah beli dari toko meubel di daerah Pasuruan. Kursi itu baru-baru ini saja berada di luar. Sejak ayahku sering menghabiskan waktunya di teras rumah. 2 buah kursi kayu berwarna coklat. Satu untuk meletakkan badan ayah, dan satu untuk menyelonjorkan kaki ayah.

Ayah duduk di teras tepat di depan kamarku. Kami hanya dipisahkan oleh kaca kamar yang sekaligus menjadi dinding bagian depan kamarku. Cukup mudah bagi ayah jika sedang butuh sesuatu, ayah bisa memanggilku, atau dengan mengetuk kaca kamarku.

Tanpa aku berkata, ayah sudah bisa membaca maksud kedatanganku, ayah langsung mengutarakan keinginannya. "Tolong oleskan bedak di kaki ayah"

Berlari kecil, mengambil bedak bayi yang memang biasa digunakan untuk kaki ayah.
Kaki ayah terluka, seperti pecah, terbuka, terlihat daging merah muda yang bersih. Pedih, aku yakin itu sangat pedih.
Berjalan pun ayah sempoyongan, kakinya sakit.
Ibu telah membelikan ayah sepatu sandal, dari depan nampak seperti sepatu, tapi bagian belakangnya bukan sepatu. Sepatu ayah sudah beberapa lama tak digunakan karena ayah terlalu kesakitan jika dipaksa menggunakan sepatu, mungkin sesak, namun ayah tetap harus bekerja dengan rapih.

Ku oles bedak itu pelan-pelan, membalut seluruh luka di sela-sela jari kaki ayahku, kulihat ayah mengernyitkan muka, sedikit kesakitan. Tanpa banyak bicara aku melakukannya. Hanya miris melihatnya. Ayahku, kasian sekali.
"Sudah rata, yah".
"Iya, terima kasih, terima kasih banyak"
Kata-kata itu, selalu membuatku tak enak hati. Setiap kali aku melakukan sesuatu untuk membantu ayahku, ayah selalu berterima kasih padaku, bahkan untuk hal-hal yang terlalu sederhana, yang bagiku tak mengeluarkan tenaga, dan sangat tak perlu untuk diapresiasi.

Berbeda sekali denganku. Seorang anak dengan ego dan gengsi yang cukup tinggi. Terkadang aku meminta sesuatu pada orang tuaku atau kadang ayah dan ibuku memberiku sesuatu dengan cuma-cuma, tapi aku tak mengucap terima kasih kepada orang tuaku dengan lisan. Aku malu, padahal seucap terima kasih tidak akan menurunkan derajatku sama sekali. Justru sebenarnya derajatku memang sudah sangat jauh di bawah kedua orang tuaku.

Tapi anak kecil ini selalu belajar. Membunuh setiap gengsi dan berlatih mengucap terima kasih kepada orang tuanya.
"Seberapa banyak pun kamu berterima kasih, kamu tak akan bisa membalas jasa-jasanya. Catat, ingat!"

●●●

Hampir 3 bulan berlalu dari kepergian ayah. Ayah telah berlayar di alam baka.
Aku kini tak lagi mendengar panggilan dari depan kamarku.
Sesekali aku membuka gorden, mengintip ke luar, hanya ada kursi usang yang dulu menemani ayahku menghabiskan waktu di saat-saat terakhir hidupnya.
"Malang sekali kamu, kursi. Tak ada lagi yang mendudukimu kini."
Lalu ku tutup kembali kain penutup kaca itu.

Segala benda peninggalan ayahku kini menjadi perantara kami untuk mengenang ayah.

Aku dulu tak tau arti kenangan, tapi kini, aku benar-benar mengerti dan paham. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi kau akan tahu ketika kau  kehilangan sesuatu yang sangat engkau cinta.

●●●

"Ra, kamu ga pengen beli cat? Vernis."
"Vernis tuh buat apa, bu?"
"Buat kayu, buat ngecat kursi ayah yang di depan itu. Udah jelek banget kan. Biar bagus lagi"

Saat itu, aku yang baru saja mengantar ibu dari Puskesmas untuk check up dan mengambil obat di apotek langsung saja mengarahkan mobil ke toko bahan bangunan milik Paman (Adik Ibuku).

"Mbak, beli"
"Eh, Ira. Beli apa?" Pegawai Paman yang sudah kukenal menyapaku, tapi sayangnya aku lupa nama Mbak ini. Payah memang aku ini.

Kujelaskan maksudku, ku pilih warna sesuai keinginanku, dan aku bertanya cara mengaplikasikannya. Hanya bermodal 35 ribu, aku dapatkan 1 wadah vernis dan 1 buah kuas untuk melakukan pemolesan.

Setibanya aku di rumah, aku tak langsung mengerjakan project-ku.
Hari cukup panas di Gresik, saat itu sekitar pukul setengah 1 siang.
Aku melakukan aktivitas seperti makan, sholat, menonton TV, dan bermain gadget karena siang itu aku tak bisa tidur siang.

Bosan dengan semuanya, aku mengambil jilbabku, vernis, dan kuas. Aku keluar menuju teras untuk melihat kondisi kursi ayah.
"Sangat usang dan jelek" batinku.
Aku mulai menyiapkan kebutuhan lain seperti lap dan air untuk membersihkan debu yang telah banyak menempel sejak ayahku tak lagi menduduki kursi itu.

Sebelum aku memulai pekerjaanku, kakak laki-lakiku datang. Ia membantuku dipermulaan untuk mengecat kaki kursi. Tapi aku tak tahan, tanganku sangat gatal.
"Sini, biar aku saja yang ngecat. Udah, aku bisa kok"
Dengan sedikit pemaksaan, akhirnya aku berhasil membuat kakakku menyerahkan kuasnya.

Gerakan tanganku mulai menyusuri setiap bagian dari kursi kayu itu.
"Ah ternyata capek juga ya jadi tukang" sedikit kuusap keringatku.

Setiap detik aku mengingat ayah sembari menjangkau detail-detail kecil kursi dengan kuasku.
"Perempuan harus bisa melakukan pekerjaan laki-laki" pesan ayahku dulu ketika beliau sehat.
"Kamu harus bisa melakukan apa-apa tanpa ayah."
Ayahku mengajarkanku bagaimana cara membandrek mobil mogok, mengganti lampu, memperbaiki yang bocor, memaku, mengecat, menggergaji, dan sebagainya.
Ayah selalu berpesan padaku untuk jadi perempuan yang mandiri.
Dan aku beruntung pernah mendapat banyak ilmu dari ayahku.

"Raaa, cucian belum selesai disetrika, udah ngerjain yang lain aja" ku dengar ibuku berteriak memanggilku.
"Aku bosan, biar aku kerjakan ini dulu, Bu" yaaa, aku tengah bosan menyetrika bajuku yang telah kering dan ku angkat dari jemuran.

"Ibu ini, ganggu aku nostalgia aja" aku hanya membatin, tapi aku juga tertawa melihat kelakuanku sendiri.

Kaki hingga badan kursi telah aku cat.
"Cantik sekali"

Ada sedikit rasa puas di hati, berhasil melakukan hal-hal yang dulu diajarkan ayah padaku. Ayah selalu mengajarkan kesederhanaan pada anak-anaknya. "Ayahku yang multitalenta, semoga engkau senang melihat anak kecilmu ini tumbuh dewasa, mencoba mandiri tanpamu."

Kursi ini akan segera bisa digunakan di dalam rumah. "Kau tak kan kesepian lagi di luar" ucapku pada kursi ayah.

Sebelumnnya aku telah memotret kursi itu, dan setelah dicat, aku sempatkan memotretnya lagi. Aku ingin tahu perbedaan before-after-nya.

Selasa, 28 Juli 2015

Mengejar dunia untuk akhirat?

"Memangnya bisa mengejar dunia untuk akhirat?"
Pikiran dan nuraniku sulit sekali berjalan beriringan dan sepakat akan hal ini.

Semangatku pun sama seperti iman, yazid wa yankus, turun-naik-turun-naik.

Siapa saja boleh bercita-cita, termasuk seorang perempuan berusia 20 tahun yang menulis tulisan ini.

Jika aku diminta memilih antara dunia dan akhirat, aku pasti menjawab aku ingin meraih keduanya, menggeggam keduanya.
Tapi, aku hanya manusia biasa yang tak punya daya dan upaya kecuali jika Tuhanku Yang Mahakuasa memberinya.

Aku pernah sangat bersemangat dalam membuat rencana hidup setelah membaca beberapa buku motivasi. Aku sangat bergairah untuk mendapat dunia dan tetap meraih keindahan abadi di kehidupan akhir yang sesungguhnya nanti.

Aku tidak akan menceritakan planning itu di tulisan ini karena aku rasa akan terlalu panjang, biar nanti aku ceritakan di postingan lain di lain kesempatan jika Allah Ta'ala masih memberiku kesempatan.

Aku mulai mengikuti beberapa organisasi untuk mengembangkan diriku, aku berharap aku bisa berkembang pesat hingga melejit dan nantinya aku bisa meraih segala macam cita-cita mulia yang didambakan hati kecil dan pikiranku yang saat itu sepakat untuk mengejarnya.

Tapi rupanya diri ini bagai kapal di tengah lautan. Air tak kan pernah berhenti bergerak. Setenang apapun ombaknya, kapal akan terus bergoyang mengikuti gerakan air laut. Sepertinya itulah aku. Kecil di tengah laut, mudah sekali terombang ambing.

Jika aku berada di tempatku menimba ilmu dunia, aku begitu optimis bisa mencapainya, tapi ketika aku pulang ke tempat asalku, mendalami ajaran agamaku, justru aku semakin tak bersemangat mengejar dunia. "kenapa aku tidak fokus saja dengan akhiratku? Untuk apa aku mengejar dunia? Memang sukses di dunia dibawa mati? Bukannya yang paling dinanti dalam hidup adalah ucapan Laa ilaha illallah sebelum nyawa ini benar-benar dicabut dari raga?"

Apakah semua harapanku hanya nafsu? Dan apakah aku mendapat siraman air ketika aku mendalami agamaku sehingga api itu mulai padam? Entahlah aku pun tak memahami sebenarnya apa yang terjadi dalam diriku.
Mungkin engkau yang membaca ini pun bingung dan menganggapku aneh. Tapi aku benar-benar tak tahu apa jawaban dari pertanyaan pertanyaanku.

Aku kehilangan semangatku yang berapi-api untuk mengejar mimpi yang kurangkai sendiri. Aku sempat berfikir, saat nanti waktunya tiba, aku akan mengakhiri kontribusiku di organisasi yang menurutku bisa menjadikanku berkembang meraih dunia untuk menjemput akhirat, kemudian berfokus berbakti ke orang tua, menyelesaikan studi pendidikan dokterku, dan rajin mengikuti kajian. Tapi aku takut pikiran ini hanya sebatas kejenuhanku saja terhadap rutinitas organisasi.

Dunia dan akhirat bagaikan minyak dan air, mereka dapat disatukan dengan membuat emulsi menggunakan sabun. Tapi, aku belum memiliki sabun itu. Dimana aku bisa mendapatkannya? Aku bisa membelinya? Jika iya, apa yang harus aku korbankan? Jika tidak, apa yang harus aku lakukan?

Seharusnya aku sholat, bukan malah menulis di blog. CMIIW.
Tapi aku tak diizinkan sholat saat ini. Mungkin mengingat Allah akan lebih melegakan dibanding dengan menulis blog ini. Tapi, jika kau punya saran dan pendapat mengenai hal ini, aku sangat welcome untuk berbagi, chat saja @bahiraa di LINE atau nbahiratul@gmail.com

Trims,

Bahira

Jumat, 24 Juli 2015

Selamat jalan "pangeran berkuda"

Seperti pagi-pagi yang lain, kumandang adzan shubuh menggetarkan gendang telinga, memberi impuls kepada seorang muslim untuk segera membuka mata, menghadap kepada Tuhannya.
Aku segera membuka mata, mematikan notifikasi dari Noteku. Belum ingin segera beranjak, aku masih memutar badanku di atas kasur kotak dan empuk itu, ingin sekali menarik kembali selimut di pagi yang dingin itu, benar-benar dingin, tak sedingin biasanya. Aku kira Gresik sudah berubah menjadi Malang di musim Maba.
Ibu mengucapkan sebuah kata yang ampuh "Shubuh, Ra" lalu melanjutkannya dengan takbiratul ihram. Aku mulai menggerakkan setiap tulang punggungku, mencoba menyusun tulang-tulang belakang itu hingga ke posisi anatomis. Mataku melihat sebuah lampu indikator menyala dan saat itu pun aku menyadari bahwa ini bukan dinginnya Malang, mungkin aku rindu pada kota rantauku. Ibuku malam tadi menyalakan AC dan juga kipas, pantas saja suasana tidur malam tadi tak seperti biasanya.
Di tengah sholat ibuku, dengan sedikit mengeluh "dingin" aku beranjak ke kamarku, aku kini tak tidur sendiri, aku tidur di kamar orang tuaku sejak aku merantau di Malang dan hanya sehari pulang. Terutama kini aku wajib menemani ibuku tidur di kamarnya sejak ayah mendahului kami. Aku mulai mengganti pakaian tidur yang tidak diketahui kesuciannya, mungkin saja aku memproduksi saliva saat tidur dan menetes ke bajuku, atau mungkin darah nyamuk yang tak sengaja ku pukul malam tadi mengotori baju tidur itu. Masih disertai kedinginan yang belum habis dari kamar ibu, aku mulai memutar kran air, mencuci tangan, berkumur, sedikit membasuh mata, lalu berwudhu.
Sholat shubuh sudah kudirikan. Biasanya setelah itu aku mulai mendengar rekaman dari guru agamaku dan menuliskan terjemahan dari kitab yang akan dipelajari setiap jam 6 pagi. Tapi, aktivitas hari ini sedikit berbeda dengan pagi-pagi biasanya. Hari ini ngaji diliburkan karena guruku harus pergi ke suatu tempat selama beberapa hari. Tak ingin kembali tidur dan kehilangan berkah pagi hari, aku memandangi kamarku. Yah, kamar yang cukup kotor, sudah beberapa bulan mungkin bahkan setahun aku tidak menempati kamar itu, hanya tempat pakaian dan kadang aku gunakan untuk sholat saja agar masih tetap terjamah.
Masker kukenakan karena aku rasa tak kuat menahan debu yang masuk terperangkap di lubang hidung. Aku mulai dari kolong bawah kasur. Merasa itu sangat kotor, aku pun mengambil handscoon, tampilanku sudah mirip seperti saat mau praktikum, hanya saja aku tak memakai baju pelindung.
Di tengah-tengah sapuan tanganku terhadap debu-debu di kamar, aku mendengar speaker langgar berbunyi. Aku mencoba menebak "sepertinya ini berita duka, tapi siapa". Aku menyimak, memperhatikan setiap suku kata tapi tetap saja suaranya cukup samar, pemberi pengumuman sepertinya menyebut nama "Mad Chozin usia 60 tahun".
Aku mereka-reka. Usianya sama seperti ayahku, namanya seperti aku pernah dengar, tapi entah siapa, aku tak bisa menyambungkan sinaps untuk mendapat memori tentang nama itu.
Aku mulai mengabaikan berita tadi. Hanya sempat mendoakan kepada si mayit lalu aku kembali ke urusanku. Hingga kakak sulungku muncul karena dia akan segera berangkat menuju rumah sakit. Kakakku seorang dokter, Izzuddin Syahbana namanya, tapi aku biasa memanggilnya Cak Yud. Aku mendengar sedikit percakapan ibuku dan kakakku, tapi kurang jelas. Hingga akhirnya ibu mendekati pintu kamarku dan berkata "Ra, kak Lajim meninggal dunia". Aku pun tersentak, kaget. Ternyata bukan Mad Chozin, tetapi Achmad Lazim.
Kak Lajim adalah tetanggaku di rumah lamaku yang sekarang dijadikan toko dan gudang. Sewaktu aku kecil, setiap hari libur aku selalu meminta untuk naik ke dokar milik Kak Lajim. Ia membawa anak-anak kecil berkeliling dengan ditemani alunan lagu anak-anak, abang tukang bakso adalah salah satu favoritku. Tak seperti anak-anak zaman sekarang yang berjalan-jalan menaiki kereta-kereta kecil dengan iringan musik dangdut yang sarat akan lirik-lirik yang menggoda dan jorok, tidak cocok sama sekali untuk anak kecil, sangat tidak mendidik.
Aku masih ingat bagaimana girangnya hatiku ketika rute jalan-jalan dengan kereta kuda waktu itu diganti. Biasanya hanya berputar di sekitar Manyar, tapi saat itu Kak Lajim membawa anak-anak kecil ini ke GKB yang saat itu masih belum seramai sekarang. Hanya membayar 1000 rupiah saat itu aku sudah bisa berjalan-jalan jauh (waktu itu aku menganggapnya jauh).
Ibuku belum bisa keluar untuk melayat karena masih dalam masa iddahnya, jadilah aku yang harus mewakili melayat menyampaikan bela sungkawa keluarga kami. Aku ikut tahlil dan menyaksikan jenazah Kak Lajim dibawa ke Masjid untuk disholati. Aku pun sempat mendengar cerita dari istri yang beliau tinggalkan. Beliau orang yang luar biasa, bahkan di akhir sebelum beliau sakit dan tak bisa kemana-mana, beliau memperjuangkan sholat berjama'ah. Saat itu istri beliau melarang beliau keluar karena alasan kesehatan beliau yang sangat menurun, namun beliau menolak "Dulu aku sholat di Masjid, sekarang turun di Musholla, masa sekarang mau ga ikut jama'ah, pahalanya cuma 1". Beliau tetap berangkat ke musholla, menaiki sepeda pancalnya. Dan saat itu terakhir beliau berjamaah, karena sepulang dari musholla, beliau jatuh dari sepedanya di jalan. Hingga akhirnya beliau sakit selama kurang lebih 1 bulan setelah jatuh itu dan diambil nyawanya hari ini, sekitar pukul 04.00 dini hari.
Selamat jalan "pangeran berkuda", semoga segala amal ibadahmu diterima. Mohon ampuni beliau Ya Allah.
Aaamiin
Tertanda,
Penumpang dokarmu yang dulu kecil dan kini sudah dewasa.
●●●
Akhir-akhir ini aku cukup aktif menulis, mungkin karena libur, aku jadi memiliki cukup waktu untuk mencurahkan segala sesuatu yang ada di pikiranku.
Mohon maaf kepada sahabatku, aku kemarin berkata bahwa postingan di blogku selanjutnya akan menceritakan mengenai "Bahira", namun berita duka ini membuatku belum bisa menuliskan "Bahira"ku.
Aku pun ingin menceritakan tentang pergolakan pikiranku akan karirku di masa depan dan tentang perubahanku saat ini. Tapi tunggu saja, aku akan segera membuatnya saat aku sempat.
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Selasa, 21 Juli 2015

Bersembunyi di Balik Usia: Motivasi diri (Part 2)

Usia muda, usia tua, anak-anak, remaja, dewasa mempunyai masanya masing-masing.
Bayi hingga anak-anak adalah masa dimana kita belajar sambil bermain. Penuh ketulusan, kepolosan, keluguan, dan hidup tampak begitu mudah, tanpa masalah. Masalah anak-anak sebagian mungkin diselesaikan dengan menangis dan merengek, lalu orang tua sang anak lah yang menyelesaikan masalahnya.
Masa remaja, dimana seseorang mulai menggali dan mencari jati dirinya serta tumbuh menjadi seorang sosok yang cukup memiliki peran di masyarakat. Masa-masa ini merupakan penentu kehidupan seseorang di masa depan. Jika seseorang bisa terlepas dari kehidupan gelap remaja, kemungkinan besar ia akan tumbuh dewasa menuju kesuksesan. Namun, orang-orang yang terjebak dalam ruang gelap sebuah kehidupan remaja, kebanyakan karir mereka hancur, meskipun tidak menutup kemungkinan mereka dapat sukses dengan perubahan-perubahan yang mereka lakukan seiring berjalannya hari.
Seseorang mulai menentukan alur kehidupan apa yang akan mereka jalani pada masa SMA, dimana statusnya merupakan seorang remaja. Siswa SMA, mulai memandang masa depan dan menentukan lanjut ke jenjang perguruan yang lebih tinggi, ataukah mencukupkan pendidikannya. Jika lanjut pun, mereka harus menentukan bidang apa yang akan mereka geluti, profesi apa yang ingin mereka hayati
----
That's all
Ini adalah satu dari dua postingan yang ingin aku tulis ketika aku melihat ayahku diuji dan digugurkan dosa-dosanya oleh Allah SWT (22 Maret 2015)
Aku bahkan lupa ingin menulis apa karena saat itu aku terlalu sibuk hingga tak bisa menyelesaikan tulisan ini
Tapi yang pasti, ini untuk ayah, seseorang yang telah menginspirasiku, membuatku jatuh hati akan kepiawaiannya melakukan segala sesuatu.
Salah satu hal yang sangat aku ingat dari petuah ayah adalah "Tholabul 'ilmi minal mahdi ilallahdi" (semoga aku benar menuliskannya, belum sempat browsing lagi)
Ya.. itu lah ayahku.
Beliau adalah orang yang sangat gemar mencari ilmu, tak hanya ilmu agama, ilmu dunia pun ayahku tak memandangnya sebelah mata.
Ayahku, seorang hakim di Pengadilan Agama, dengan basic pesantrennya, melanjutkan studi S3nya di usia ke 58, tepat bersamaan denganku ketika mulai studiku di S1 Pendidikan Dokter.
Saat ayahku pergi, beliau sedang dalam penyelesaian S3nya, ujian publik untuk disertasinya tertunda karena kondisi kesehatannya yang berkurang, dan setelah itu ayahku pun diwisuda oleh ajal.
Beliau benar-benar menjalankan nasehatnya untukku.
Aku ingat betul saat ayah memberi petuah itu, ayah sedang memintaku membantu beliau menyiapkan berkas untuk mendaftar kuliah di Universitas Islam Bandung. Aku kurang tau bidang apa yg ingin beliau dalami, tapi yang aku tahu ayahku belajar hukum-hukum Islam.
Selain berpesan untuk menuntut ilmu sampai akhir hayat, ayah juga berpesan untukku, agar kelak dr. Bahira menjadi dokter yang baik, yang tidak hanya mencari materi, tapi justru memberi manfaat khususnya kepada kaum-kaum yang sangat membutuhkan dan terkendala biaya.
Ayah, terima kasih telah mendidikku selama ini.
Terima kasih telah menyekolahkanku sampai setinggi ini, semoga aku dapat menjadi amal jariyahmu.
Salam rindu,
dr. Bahira

Minggu, 19 Juli 2015

Ahlan wa sahlan Syawal :)

"Ini merupakan hari kedua di Bulan Syawal dan ibuku masih saja iseng menggodaku"
●●●
Assalamu'alaikum Syawal :)
Terima kasih karena telah datang dan memberikan kebahagiaan bagi setiap insan, termasuk aku.
Syawal, sebuah bulan yang sangat dinanti setelah 29 sampai 30 hari berpuasa.
Bagiku Syawal adalah surga dunia karena aku bisa berlibur beberapa hari setelah setiap hari menjadi pedagang di toko.
Yap aku membantu ibuku berjualan di toko, setiap hari.
Terutama kini ayah telah pergi mendahului kami, kami harus extra berjuang untuk menafkahi diri kami, toko inilah yang telah berpuluh tahun menjadi pintu rezeki keluarga kami, terutama ketika gaji ayah masih tak cukup untuk keluarga, toko inilah yang menjadi pintu rezeki utama kami.
Tak hanya libur sejenak yang kusuka dari Syawal. Syawal selalu menjadi momentum untuk menyambung silaturrahim dengan kerabat dan juga saudara, yang jauh maupun yang dekat, semua terjadi di Bulan ini.
Orang tua bersilaturrahim, biasalah pasti yang diomongkan kebanyakan seputar anak-anak mereka.
Begitu pula ibuku.
●●●

Ibu (I): "Ra, ayo cepat. Kalian harus segera ke Bu Um"
Sore itu ibuku memanggil menyuruhku dan kakak-kakakku unjung ke guru ngajiku, Bu Um.
Aku (A) : "yaaa"
Aku pun segera berlari dari kamar ke ruang tamu, menghampiri ibuku, dan duduk dihadapannya sambil memasang kaos kakiku.
I : "Ra, tadi ada yang ngajak ibu besanan"
A: "Ha? Siapa? Males ih" balasku ketus
I: "itu, anaknya Pak T, teman ayahmu. Anaknya kuliah di Unair, jurusannya ibu lupa, tadi ibu bilang sama bapaknya kalau kamu sekarang udah makin cantik"
A: "apaan sih, Bu" aku berusaha menghindari obrolan itu
Mbak Icha (M), kakak perempuanku, tiba-tiba menyahuti
M: "ih ibu, si Ira kan udah punya Azam"
I: "oh iya, Ira kan udah punya, siapa itu namanya, bukan Azam"
A: "haaah? Azam siapa pula? Anak betoyo temen sekelasku dulu? Anak Bu X yang ga pernah masuk kuliah itu? Ogaaah"
Tiba-tiba Mbak Icha menyebut sebuah nama, nama itu memang benar orang yang aku suka, sebenarnya aku curiga jangan-jangan Mbak Icha membuka Noteku tanpa sepengetahuanku.
Dan seketika itu, seisi rumahku tau siapa namanya, tapi aku tak pernah meng-iya-kan. Aku biarkan saja mereka menafsirkan kebenaran sesuatu itu dengan pikiran mereka masing-masing.
Tak ingin berlama-lama aku pun segera mengalihkan pembicaraan
A: "apa sih ini, aku masih semester 4 mau naik semester 5 juga udah main besan-besanan aja"
Aah rupanya aku menemukan sebuah jawaban dari kecurigaanku terhadap ibuku yang sepanjang Ramadhan selalu menanyaiku tentang siapa pacarku.
●●●
Semenjak ayah pergi, aku semakin dekat dan terbuka dengan ibuku, kami jadi semakin sering bercanda. Aku sangat senang melihat ibuku tertawa di tengah kesedihannya yang belum terobati hingga kini
Waktu itu, minggu pertama Ramadhan, setibaku dari perantauan, ibuku selalu memprotes diriku yang tak memakai bedak. Yah aku memang malas berdandan, kecuali jika akan berangkat kuliah, aku hanya memakai lip balm tanpa warna agar bibirku tak kering, celak tipis atau yang orang masa kini menyebutnya eye liner, moisturizer agar wajahku lembab, dan bedak secukupnya, setidaknya aku tidak terlihat terlalu kusam di tengah teman-temanku yang mengkilap.
Di rumah, hampir tiap hari ibuku berkata "pake bedak dong, Ra, biar cantik dikit"
Yaaah hampir setiap hari ibu berkata seperti itu dan aku hanya menjawab dengan candaan "iyaa, ini sudah cantik kok. Nanti kalau cantik, banyak yang naksir, ibu bingung. Hahaha"
Suatu ketika, ibu sudah tak tahan melihatku, akhirnya ibu berniat membelikanku peralatan kecantikan.
Aku, Ibuku, dan Mbak Icha pergi bersama.
Saat itu hanya kami bertiga, belanja make up, dilanjut dengan belanja makanan beku untuk suguhan lebaran.
Aku membeli sepaket make up untuk treatment jerawat.
Yah mukaku mulai berjerawat semenjak aku tinggal di Malang, entah kenapa. Aku tak membeli produk lightening karena aku tak mau terlihat putih hanya di wajah hahahaha.
Setelah membeli semuanya, kami pulang.
Di tengah perjalanan ibuku selalu mengusikku dengan pertanyaan-pertanyaan yang setiap hari diajukannya. Ibu bertanya soal pacar. Aku biasanya menjawab "ga punya pacaaaar" sambil teriak.
Tapi kini, aku yang sudah bosan dengan jawabanku yang biasanya, mulai membuka mulut dengan lembutnya.
"Ga punya pacar, ibu. Ada sih aku naksir seseorang, tapi gatau dianya juga suka apa enggak"
I: "wah alhamdulillah, berarti kamu normal. Tapi dia ga suka kamu? Bertepuk sebelah tangan dong"
[Aku kaget -_- jadi selama ini ibu berpikir aku ga normal karena ga pernah jalan sama cowo ???? ]
A: "aku nggak tau bu dia suka apa engga, kayaknya sih suka hahahaha, tapi ga tau deh, Bu.. udah ah"
Aku mulai menyudahi, tapi ibuku lagi dan lagi terus menginterogasi
I: "anak kedokteran? Kalau bisa yang sama-sama dokter"
A: "emang kenapa kalau bukan dokter?"
I: "ya gapapa sih"
Mbak Icha menyela
M: "yaaa , biar seprofesi aja"
A: "kalau bukan dokter gimana, Bu? Ga setuju?"
I: "ya enggak juga sih. Kalau bisa cari yang lebih tua"
A: "lah emang kenapa?"
I: "biar matinya ga bareng"
Hah? Alasan apalagi itu. Mana ada? Rezeki, jodoh, dan mati kan di tangan Allah.
A: "kalau kakak tingkat anak kedokteran sampe saat ini belum ada yang cocok"
Sepanjang Ramadhan ibu selalu menanyakan hal itu. Aku ingin menyebutkan ciri-cirinya, tapi aku tak ingin memberi harapan palsu ke ibuku. Aku hanya pernah secara kebetulan berkata
A: "wah ini baju siapa masih baru? Bagus lagi. Tp kok XL ya"
I: "baju ayah, belum pernah dipakai, kenapa? mau buat calon kamu?"
A:" "ya ga cukup, buat aku ukuran L aja hahaha"
I: "jadi dia gendut?"
Aku biarkan ibuku mengira-ngira seperti apa dia. Sebenarnya aku juga tidak tahu ukuran bajunya, aku hanya mengira-ngira dengan pengalamanku yang kurasa cukup dalam berjualan pakaian di toko biasanya.
Aku pergi begitu saja. Aku tak ingin membiarkan ibuku semakin berimajinasi. Ya kalau memang berjodoh? Biar nanti saja jika sudah dekat waktunya, biar aku kenalkan siapa orang itu, jika memang dia.
●●●
Terima kasih Syawal, kau telah menyambutku dengan sebuah mimpi :)
Aku tak tau apa itu mimpi buruk pertanda sesuatu? Atau justru itu pertanda baik? Wallahu a'lam
Wassalamu'alaikum
Sampai bertemu dengan Syawal-Syawal selanjutnya jika Allah berkehendak :)
Aku akan membawakan cerita lain di Syawal yang lain
Regards,
Bahira

Senin, 06 Juli 2015

So Soon

This song is dedicated to my beloved father who went very soon
Happy 60th birthday, Ayah
Hope you will always be shaded by His mercy and gather with us in His Jannah ♡

So Soon - Maher Zain

Every time I close my eyes I see you in front of me
I still can hear your voice calling out my name
And I remember all the stories you told me
I miss the time you were around [x2]
But I’m so grateful for every moment I spent with you
‘Cause I know life won’t last forever

You went so soon, so soon
You left so soon, so soon
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone
Gone so soon

Night and day, I still feel you are close to me
And I remember you in every prayer that I make
Every single day may you be shaded by His mercy
But life is not the same, and it will never be the same
But I’m so thankful for every memory I shared with you
‘Cause I know this life is not forever

You went so soon, so soon
You left so soon, so soon
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone

There were days when I had no strength to go on
I felt so weak and I just couldn’t help asking: “Why?”
But I got through all the pain when I truly accepted
That to God we all belong, and to Him we’ll return, ooh

You went so soon, so soon
You left so soon, so soon
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone
Gone so soon

Surat kecil untuk yang kucinta

Hari ini ibu berulang tahun dan besok adalah hari ulang tahun ayah. Apa yang bisa seorang anak lakukan untuk membahagiakan orang tuanya selain berbakti kepada keduanya? Berbakti dengan cara yang berbeda karena keduanya kini telah terpisah, berbeda dunia.
Ibu.. Aku, akan berusaha mematuhi segala perintahmu selama itu tidak bertentangan dengan perintah Allah.
Ayah.. Aku akan mengenangmu, mengirimkan doa-doa terbaikku untukmu.
"Ya Allah ampuni aku dan kedua orang tuaku dan sayangilah keduanya seperti mereka menyayangiku waktu kecil. Jadikanlah kami orang-orang yang selalu mendirikan sholat. Wafatkan kami dalam khusnul khotimah. Bebaskan kami dari siksa kubur. Dan masukkan kami ke dalam surga tanpa hisab"
Salam penuh cinta,
Anak bungsumu

Jumat, 03 Juli 2015

Aku dan Profesiku

Untukmu, seseorang yang mungkin akan menjadi teman hidupku.
Aku harap kau memahami bahwa aku adalah aku.
Layaknya seorang perempuan memang berada di rumah. 
Menjaga dirinya, martabatnya, hartanya, dan keturunannya.
Aku perempuan yang sadar betul akan hal itu.
Tapi aku ...
Aku tak bisa menjanjikan bahwa diriku akan terus berada di rumah dan sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak-anak kita.
Mengabdi dengan sepenuh hati dan sepenuh waktu untukmu, siapa yang tak ingin?
Aku sangat ingin. 
Menghabiskan waktuku melihat anak-anak tumbuh dan berkembang dalam genggamanku, tanpa melewatkan satu pun momen kehidupan mereka.
Tapi, kelak aku akan disumpah untuk menjalankan profesiku.
Sebuah profesi mulia yang diharapkan bisa membantu masyarakat.
Bukan uang yang kucari.
Aku yakin, tanpa aku bekerja, Allah akan memberikan rezeki itu melalui dirimu.
Aku hanya ingin bermanfaat untuk orang banyak.
Tak kuingkari, aku pun ingin lebih bermanfaat untukmu dan keturunan kita kelak.
Istri paruh waktu? Mungkinkah?
Entah aku tak tahu.
Aku hanya berharap kau memahami profesiku kelak, aku mohon jangan cegah aku untuk memberikan pertolongan ke pasien yang membutuhkan bantuanku.
Dan jangan halangi aku untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan lebih tinggi. Karena sejatinya aku harus belajar seumur hidup.
Kau tak perlu khawatir, aku pun akan tetap berusaha melakukan segala yang aku bisa demi kebaikan bersama. 
Mungkin itu akan melelahkan. Tapi aku harap kau selalu disisiku.
Memahami dan mendukungku sepenuhnya.
Menyuntikkan semangat dan kekuatan baru ketika aku terjatuh.
Aku janji akan berusaha memberikan yang terbaik dari diriku.


Warmest regards,
Bahira

Kamis, 16 April 2015

Pembalasan yang tak tuntas

16 / 04 / 2015
Di tanggal itu aku ingin menulis, namun hanya judul yang sempat aku tulis.
"Pembalasan yang tak tuntas"
Awalnya tulisan ini aku dedikasikan untuk Ayahku yang saat itu sedang sakit.
Tepat satu hari sebelum aku ujian blok Neuropsikiatri, yakni Kamis siang (9 April 2015), satu minggu dari pembuatan judul tulisan ini, Ayah jatuh sakit, tak sadarkan diri. Hal itu mengakibatkan beliau harus dilarikan ke IGD.
Aku bahkan tak mengetahui hal tersebut hingga malam harinya ibu menelpon.
Sedih, bingung, itulah yang bisa aku rasakan.
Mbak Ica (kakak perempuanku) malam itu menelpon dengan tangisan, meminta aku segera pulang.
Aku bimbang, aku yakin ayahku akan baik-baik saja. Tapi mendengar tangisan itu, aku ragu, tak biasanya ibu dan kakakku memaksa aku pulang meskipun ayah di rumah sakit.
Dengan egoku, aku tetap tak pulang karena Jumat pagi aku harus ujian.

Keesokan harinya, aku sangat tak tenang dalam mengerjakan soal, bagaimana tidak, sebagian besar soal ujianku bersetting di IGD menceritakan tentang pasien yang tidak sadarkan diri. Semakin mengingatkanku pada Ayahku.
Aku bergegas menyelesaikan semua soal tanpa pikir panjang. Aku mahasiswa pertama yang meninggalkan ruang ujian di tengah ujian yang menurut sebagian besar orang susah. Bukan karena ujiannya mudah bagiku, tapi aku sangat khawatir pada ayahku.
Aku pun bergegas pulang ke kota asalku dan langsung menuju rumah sakit
●●●

Kondisi ayah sudah mulai membaik, aku turut bahagia, aku kira semua akan baik-baik saja. Aku tak dapat menjaga ayahku setiap hari. Hanya Sabtu dan Minggu aku bisa menemani Ayah..
Aku ingat betul, di minggu pertama itu, ayah memegang tanganku dengan erat. Beliau masih mengingatku, aku dan kakak perempuanku menidurkan Ayah karena beliau sulit tertidur.
Saat aku akan kembali ke Malang beliau mengucap "yang rajin ya"
Aku akan selalu mengingatnya.. sayang sekali aku harus melanjutkan kewajibanku belajar di kota Malang.
Beberapa hari setelah aku berada di Malang, aku mendengar kabar bahwa terjadi sesuatu pada Ayah sehingga nengharuskannya di rujuk ke Rumah Sakit Graha Amerta Surabaya.
Aku meninggalkan semua kegiatan di kampus pada hari Sabtu dan Minggu, karena aku sangat ingin bertemu dengan Ayah. Kakak-kakakku pun bahkan tak masuk kerja demi menjaga Ayah.
●●●

Saat aku datang, memasuki kamar rawat inap, ibu dengan santai menyapaku, dan mencoba ceria, menanyai ayahku tentang siapa aku.
Jawaban yang sangat tak ku sangka. Ayah tidak bisa mengingatku. Beliau hanya menjawab bahwa aku adalah Ica (kakakku). Ya setiap hari memang kakakku itulah yang merawat ayahku di rumah, bersama ibu dan kakak laki-lakiku, hanya aku yang jarang berada di rumah.
Tetes air mata yang kusembunyikan dari mereka berdua keluar perlahan. Aku terus berusaha mengingatkan ayah tentang diriku.
Kesadaran ayah memang sangat menurun. Dalam dunia medis ini disebabkam pasokan darah keotak sangat menurun sehingga oksigen tidak dapat mencapai otak, dan sel sel otak pun terganggu kerjanya.
Hari minggu pun tiba, dan aku harus segera kembali ke Malang.
Aku meninggalkan keluargaku dengan kondisi ayah yang seperti itu
●●●

Hari demi hari di Malang kujalani dengan ketidak tenangan, terlebih lagi minggu ketiga ini ayah harus menjalani operasi menggunakan anestesi total dengan kondisi jantungnya yang lemah. 5 orang dokter spesialis yang menangani ayah tidak mampu menjanjikan kesembuhan, karena memang Allah lah yang bisa menyembuhkan. Menurut dokter bedah dan dokter anestesi, risiko terbesar operasi ini adalah kematian karena memang keadaan umum ayah kurang bagus.

Aku, lagi lagi hanya bisa berdoa. Mendoakan kesembuhan dan yang terbaik untuk ayah, serta kekuatan dan kesabaran untuk ayah dan keluarga yang merawat ayah.
Sabtu pun tiba, aku segera pulang mengunjungi ayah.
Kali ini ayah berada di ruang yang berbeda lagi. Beliau dirawat di HDC (High dependence care). Kondisinya terlihat lebih baik dari minggu lalu, sesekali beliau bisa mengingatku. Tapi saat itu ayah semakin pasrah. Awal dulu ayah selalu meminta pulang, tapi saat itu, ayah sudah lebih sabar menghadapi sakitnya.
Aku lagi lagi tak sanggup berbuat apapun. Hanya tangis yang bisa mengungkapkan perasaan ketika aku melihat ayah seperti itu. Banyak sekali selang yang masuk dalam tubuh beliau, dari lengan hingga kaki. Seumur hidupnya, ini kali kedua ayah masuk rumah sakit, dengan kondisi yang bisa dibilang sangat parah.
Rumah sakit hanya memberi kesempatan pada keluarga pasien HDC untuk menjenguk pukul 11.00-12.00 dan 16.00-17.00. Aku pun sangat menanti nanti kesempatan agar bisa menemani ayah.
Namun sayang, hari minggu kembali datang dan aku harus segera pergi
●●●

Rabu pagi 29 April 2015 ibu menelponku dengan riang. Ibu bilang insya Allah jika nanti siang kondisi ayah tetap stabil maka ayah bisa pindah dari HDC ke kamar rawat inap biasa. Aku pun turut senang dan berdoa demi kebaikan ayah.
Namun, tiba-tiba sore hari, Mbak Ica menelponku, menyuruhku pulang, SEGERA, karena ayah kritis. Aku tak berani bertanya apapun. Aku tak dapat berpikir. Aku yang baru selesai mewawancara seorang anak dalam rangka open recruitment panita Medical Fiesta langsung berpamitan pada Ummi (Ketua pelaksana) dan Mas Naya (Direktur LSIM). Aku tak mampu memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.
Aku hanya berpikir aku harus sampai di rumah sakit secepatnya dengan cara apapun. Aku tak tahu jalanan di Surabaya, tapi untunglah Allah mengirimkan bantuan melalui seorang Bapak yang duduk disampingku saat di bus. Bapak itu memanduku untuk menaiki taxi sehingga aku bisa sampai di RS segera.
Saat aku tiba, ayah memang sudah keluar dari HDC, namun kini ke tempat yang lebih "buruk" lagi, yaitu ICU.
Aku tiba malam hari, sekitar pukul 8 malam. Hampir saja satpam ICU melarang aku masuk, namun aku memaksa. Akhirnya aku bisa memasuki area ICU dan melihat kondisi ayah. Aku benar-benar tak tega saat itu, aku tak ingin berlama-lama di dalam. Aku segera keluar..
Esok paginya, aku izin kuliah, aku menghabiskan sehari di rumah sakit. Siang hari aku menemani ayah. Hanya air mata yang bisa aku keluarkan di depan ayah dan kakak laki-lakiku. Aku tak menyembunyikannya lagi, karena memang ayah kini tak sadar. Bahkan aku memanggilnya pun ayah tak membuka mata.
Sangat miris. Aku tak kuasa, aku pun turun, keluar dari ICU, sholat. Setelah itu aku sudah lebih tenang dan bisa menemani ayah ke ICU hingga pukul 16.00 banyak kerabat datang menjenguk ayah. Aku pun harus mengalah, keluar karena tak boleh terlalu banyak orang datang. Hingga jam besuk habis, aku tidak dapat lagi melihat ayah.
Malam harinya setelah semua menjenguk, ibu atas saran dari kakak tertua ibu mengajak kami semua membaca yaasin sebanyak 44x, kami niatkan untuk kesembuhan ayah.
Setelah selesai membaca, semua bersiap untuk tidur di ruang tunggu. Tak seperti biasanya, sebelum tidur terbersit di pikiranku "jangan-jangan malam ini ayah tiba-tiba pergi dan aku tak bisa menemani di saat terakhirnya", tapi aku segera mengubur pikiran itu. Tidurku tak tenang, mendengar sedikit pengumuman saja aku terbangun.
Hingga dering telpon ibuku berbunyi, terbangunlah kami semua, aku, ibu, dan 2 orang kakakku. Kakak pertamaku yang menelpon ibu, menyuruh kami semua ke ICU karena kondisi ayah sudah sangat kritis. Kami pun berlari, namun lagi-lagi satpam ICU sangat menyebalkan. Ia tak bisa membedakan raut muka khawatir keluarga pasien dengan raut muka khawatir yang biasanya. Aku dan kakak perempuanku memaksa masuk, namun kakak laki-lakiku tetap di bawah.
Detak jantungku terdengar sangat keras di kepalaku. Aku tak bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya mendengar suara monitor ICU yang berbunyi dengan kencang, seperti di televisi ketika ada pasien meninggal. Aku tak dapat berpikir lagi, saat aku berlari aku hanya melihat dokter yang melakukan RJP pada ayahku.
Ibu dan kakak perempuanku pun menugaskan aku untuk turun dan memanggil kakakku yang tetap di bawah karena larangan satpam itu.
Ketika aku tiba dengan membawa kakakku, semua telah berakhir. Aku melihat kakak perempuanku turun, ibuku menangis, dan kakak pertamaku langsung mengelus kepalaku, ia berkata "ayah sudah ga ada, ikhlaskan ya"
Tubuhku semakin lemah, aku hanya bisa berjalan keluar, duduk, dan menangis, disamping 2 perempuan, ibu dan kakak perempuanku.

Ketika itu aku hanya memikirkan satu hal. Aku menyesal, aku belum melakukan banyak hal untuk membahagiakan ayah. Bahkan di saat-saat terakhinya pun, aku tak bisa berada di sisi ayah.
Berbeda dengan kakak-kakakku yang sempat berjuang begitu keras merawat ayah ketika beliau sakit.
Aku sama sekali belum memberikan pembalasan terbaik untuk jasa ayahku selama ini. Ayahku, kini sudah pergi untuk selamanya. Hanya doa yang bisa ku kirimkan untuknya.
Tepat 31 Mei 2015 malam hari sekitar pukul 22.30 WIB ayah meninggalkan kami semua. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Hari ini, saat aku menyelesaikan tulisan ini, merupakan hari ke 39 setelah ayah pergi.

Kini aku hanya memiliki seorang ibu. Ibu yang sangat kuat dan hebat.
Pesanku pada yang kedua orang tuanya masih ada. Berbaktilah, sekecil apapun yang bisa kau lakukan, lakukanlah, sebelum kau menyesal karena tak bisa lagi berjumpa dengan orang tuamu selamanya.

Sabtu, 28 Maret 2015

Purnama yang Tak Lengkap

Malam ini aku melihat purnama
Jauh tak seperti biasa
Purnama kali ini begitu berbeda
Bulat tapi tak lengkap
Penuh tapi tak utuh

Hei, kau.
Kenapa duduk meringkuk?
Kuperhatikan seorang yang malang terduduk lemah
Tanpa teman, tapi matanya penuh pesan
Tidak, dia tidak sedang baik-baik saja

Siapa pula anak ini
Duduk di antara dedaunan
Tanpa suara, hanya menampakkan muka
Memandangku seolah memintaku duduk bersamanya
Tak salah lagi, kehadiranku, membuat purnama lengkap, di matanya.

Kamis, 19 Maret 2015

UKT mahal, takut masuk UB

Assalamu'alaikum wr wb
Hai Fellas,
Malam ini saya ingin sedikit banyak bercerita tentang UB dan berita-berita yang marak beredar bahwa UKT di UB MAHAL, tulisan ini khususnya saya persembahkan untuk teman-teman yang sedang duduk di bangku SMA, semoga bermanfaat.

UKT (Uang Kuliah Tunggal) merupakan sejumlah uang yang dibayarkan untuk memenuhi syarat administrasi agar bisa mengikuti proses perkuliahan. Dewasa ini sebagian perguruan tinggi sudah menerapkan sistem UKT yang prinsipnya adalah subsidi silang antara kaum dengan derajat sosial yang tinggi dengan yang di bawahnya.
Dalam penerapan sistem UKT, UB tidak banyak berbeda dari perguruan tinggi di Indonesia. Setiap institusi pasti telah menetapkan nominal yang harus dibayarkan, yang berbeda adalah kisaran nominal tiap kategori/golongan di setiap perguruan tinggi yang nampaknya memang menjadi kewenangan institusi untuk menetapkan nominalnya.

Dalam satu perguruan tinggi pun, kisaran angka UKT tetap berbeda tergantung  pada program studi yang diambil mahasiswa.
Ambil saja contoh di program studi saya, yaitu Pendidikan Dokter. Saya pernah sedikit melakukan survei kepada sejawat saya dari beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Dan luar biasa kagetnya saya.
Kenapa?
Di Universitas X, nominal UKT tertinggi hanya sekitar 12 juta rupiah
Di Universitas Y, bahkan di bawah 10 juta rupiah.
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala dan berkata "wah luar biasa sekali ya UKT di Universitas saya, padahal sama-sama negerinya"
(Orang tua) Saya harus membayar lebih dari 20 juta tiap semesternya agar saya dapat melanjutkan studi saya, demi menjadi seorang pelayan masyarakat professional.
"Kalau saya kuliah di tempat teman saya, saya bisa dapat 2 semester disana dengan biaya 1 semester disini"
Itulah pikiran saya.
Namun, pikiran saya yang lainnya juga perlu sahabat perhatikan.

Baru-baru ini saya mendapat informasi tentang reward dari universitas untuk prestasi-prestasi mahasiswa di UB.
Alhamdulillah saya dan tim saya pernah mendapat beberapa kesempatan untuk menjadi delegasi UB dalam lomba karya ilmiah mahasiswa FK se-Indonesia.

Saya pun mencoba mengurus reward itu ke rektorat dan dekanat. Memang bagian saya belum cair, namun kakak tingkat saya telah mendapatkan "buah manis" dari perjuangannya sebelum ini. Ketika saya tanya berapa nominal reward dari rektorat, saya cukup tercengang dan kaget. Nominalnya bahkan lebih besar dari hadiah lomba yang diberikan oleh panitia penyelenggara.
Saya pun sedikit iseng, saya survei ke beberapa sejawat saya dari beberapa perguruan tinggi negeri ternama, dan ternyata mekanisme reward di kampus mereka, tak semenguntungkan di kampus saya yang setiap pencapaian pasti ada rewardnya.

Bagi mahasiswa kedokteran seperti saya, jumlah itu cukup untuk digunakan membeli text book kedokteran yang harganya lumayan itu. Bahkan jika dihitung, jumlah yang akan saya terima, melebihi bagi hasil bisnis saya dengan teman-teman baik saya selama satu semester. Dan mungkin bagi teman-teman non FK, uang itu bisa digunakan untuk menebus sebagian UKT yang harus (orang tua/wali) kalian bayarkan atau bahkan menebus seluruh UKT selama 1 semester (tergantung nominal UKT).

Saya pun memutar pikiran lagi,
Jika berprestasi dalam kompetisi, bisa dapat reward sebesar itu untuk membantu pelunasan biaya kuliah. Belum lagi jika dapat meraih dan mempertahankan Indeks Prestasi (IP) atau Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3,50. Kesempatan mendapat beasiswa pasti terbuka lebar, terutama bagi yang kurang berkecukupan.

Selama ini saya selalu update info beasiswa di web beasiswa.ub.ac.id dan saya merupakan saksi, bahwa banyak sekali penawaran beasiswa yang ditujukan untuk mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu secara finansial dan aktif dalam organisasi serta memiliki pencapaian akademik yang memuaskan, bahkan syarat IPK kebanyakan hanya 3,00 bukan 3,50.

Menurut testimoni penerima beasiswa, memang mengurus pendaftaran untuk penawaran beasiswa agaklah rumit. Namun, jika kita memenuhi syarat, mampu untuk mengurusnya, dan memang itu bisa membantu meringankan beban orang tua, kenapa tidak?

Saya sering mendapat pertanyaan dari adik tingkat saya mengenai UKT di UB, nampaknya mereka ragu untuk mendaftarkan diri di kampus perjuangan saya karena takut harus membayar UKT yang cukup mahal dibanding dengan perguruan tinggi negeri lainnya.
Saya juga sering mendengar keluhan teman-teman saya, sesama mahasiswa, mengenai mahalnya UKT yang harus dibayarkan (padahal sesungguhnya orang tua mereka sangat mampu untuk membayar itu).

Terkadang kita terlalu melihat kesulitan dari suatu hal tanpa melihat peluang yang ada. Kita terlalu memfokuskan diri pada hambatan, sehingga pikiran kreatif dan solutif kita tidak bekerja dengan baik.

Terlalu banyak berita yang menceritakan betapa extreme-nya UKT di UB. Tidak ada yang mengimbangi, hingga banyak yang berfikir bahwa kuliah di UB benar-benar akan menguras kantong kita.

Padahal, jika kita mau berusaha, kuliah dengan benar hingga mendapat pencapaian akademik yang memuaskan, dapat membagi waktu antara akademik dan organisasi, serta tetap berusaha mengukir prestasi, insya Allah, Allah akan membukakan jalan yang lebar untuk kita. Terlebih lagi jika kita punya tekad dan semangat juang untuk berbisnis, insya Allah kesulitan finansial untuk memenuhi UKT akan kecil kemungkinannya terjadi. Wallahua'lam.

Sekarang, tinggal kamu putuskan, masih takut masuk UB?

Wassalamu'alaikum wr wb.

Rabu, 18 Maret 2015

Tentang Kamu dan Hujan

Kemarin hujan, sayang
Airnya sangat menghantam
Alirannya begitu tak tenang

Kupandangi
Kuamati
Kuperhatikan langkamu
Dari jauh

Aku hendak memanggilmu
Tapi lidah ini terlalu kelu
Diri ini terlalu ragu
Aku hanya diam terpaku

Aku tak kuasa
Aku hanya melihatmu pergi
Mengikuti aliran, jauh ke ujung sana
Dan aku, tertinggal di bawah tenda ini

Hari ini hujan, sayang
Tetesannya begitu menghujam
Apa yang terjadi?

Aku tak tahu apa yang sedang terjadi
Sungguh ku tak mengetahui
Apa arti dari pertanda ini

Tak kusangka, tak kukira
Semesta kali ini berpihak padaku
Dan hujan hari ini telah menjadi perantara
Bertahanlah di sisiku, tanpa ada lagi ragu

Selasa, 17 Maret 2015

Terlalu malu

Aku tak pernah tau siapa orang yang kelak akan mengisi hari-hariku.
Tak dapat dipungkiri, aku pernah berharap itu kamu.
Seseorang yang bahkan untuk melihat saja aku malu.

Mengenalmu bertahun-tahun tak berarti aku tahu kamu.
Sering aku bertanya bagaimana sebenarnya sifatmu.
Aku memang teman baikmu.
Tapi aku tak tau, kenapa kini aku bisa semalu ini padamu.

Melihatmu aku malu.
Menyapamu? Apalagi itu.

Aku tak tau siapa orang spesial itu.
Yang akan mengisi sisa hari dan hidupku.
Aku hanya ingin Allah meneguhkan hatiku.
Untuk tetap menjagaku dari bahaya nafsu.

Kalaupun kita ditakdirkan untuk bertemu.
Semoga itu memang yang terbaik untuk kamu dan aku.
Dan kalaupun kita tidak ditakdirkan untuk bersatu.
Maka aku yakin, Allah telah menyiapkan yang terbaik untukku dan untukmu.

Sabtu, 14 Maret 2015

AEON

AEON,
Sebuah kata dari bahasa Inggris yang berarti "beribu-ribu tahun"
Sebuah nama yang tercetus secara insidental untuk grup yang terbentuk secara insidental pula.

Kami terbentuk secara tak di sengaja
Kami dipertemukan dalam kesulitan
Fika, Onny, Bhayu, Shelby, Exgha, Satria, dan aku (Ira). Kami terjebak dalam sulitnya survive dan beradaptasi di lingkungan baru, dunia mahasiswa kedokteran.
Mungkin teman-temanku tidak terlalu kesulitan, tapi aku, sebagai bocah yang sangat mudah mengantuk saat belajar, tak bisa tahan belajar sendirian di kamar.
Saat itulah dimulai perjalanan dari soulgroup ini.
Fika, yang selalu tertidur denganku saat belajar di kos, berinisiasi mengajakku belajar bersama teman-temannya, tak semua aku kenal, tapi saat itu lah kami mulai saling mengenal.

Hari berganti, pertemuan-pertemuan belajar selalu diiringi dengan pertambahan anggota-anggota baru.
Hakiem, Ikhsan, Rahmad, Edel, dan yang terakhir Khalfi.
Saat itu lah kami memutuskan untuk menetapkan anggota kelompok belajar ini, karena space rumah Exgha akan terasa sempit jika kita menambah orang lagi.

Meskipun telah menetapkan anggota tetap kelompok belajar, tapi kami tak pernah menutup diri dari teman-teman yang ingin belajar bersama.
Jejep, Linda, dan Adrian, mereka terkadang juga bergabung dengan kami, dan kami sangat senang dengan kehadiran mereka.

Kami memang, memiliki nama, tapi itu tak membuat kami menjadi sebuah geng exclusive yang tak mau berbaur dengan dunia luar.
Kami sangat welcome kepada siapa saja yang memang sedang berjuang bersama kami.

Waktu terus berlalu, kami tak hanya belajar, kami pun bermain bersama, tapi kami tak memprioritaskan agenda itu.
Kami hanya keluar ketika selesai ujian blok, UAS, dan ketika ada moment-moment special seperti ulang tahun salah satu dari kami.

Setiap orang mempunyai kesibukannya masing-masing, kami semua memiliki organisasi yang harus diurus
Fika-LAKESMA
Onny-baru bergabung dengan HMPD
Bhayu-baru bergabung dengan HMPD
Exgha-BEM FKUB
Shelby-AMSA, HMPD, ISMKI
Satria-HMPD
Ira-LSIM, BAPIN ISMKI
Hakiem-BEM FKUB
Ikhsan-BEM FKUB
Rahmad-Dagangan dan sedang akan menjadi anggota LSIM
Edel-LAKESMA
Khalfi-sedang dalam tahapan untuk menjadi anggota LSIM
jadi memang kelompok ini sangat jarang bisa kumpul lengkap, cukup sulit.
Terakhir kami kumpul sebelum aku menulis tulisan ini adalah Jum'at, 13 Maret 2015 (itupun tak lengkap). Kami mendapat rezeki traktiran hari kelahiran Fika yang ke 20 tahun, seharusnya Fika ulang tahun pada tanggal 24 Maret, tapi sebelum kami semakin sibuk, kami menyempatkan satu malam untuk berkumpul, tanpa ada buku, handout, dan soal :)

Fika, sangat ingin menjadi dokter yang terjun di masyarakat, menjadi klinisi seutuhnya.
Onny, gadis rajin nan cerdas, cukup diam namun mematikan. Narsis pula haha
Bhayu, pacarnya Onny, ga kalah rajinnya, jago anatomi.
Shelby, bercita-cita untuk menjadi dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.
Exgha, seorang calon direktur rumah sakit.
Aku, ingin menjadi akademisi dan juga peneliti.
Hakiem, dia tak terlalu mengekspos dirinya, diam, namun sekali bicara, sangat tajam wkwk
Ikhsan, aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan, cita-cita sebagai dr. Sp.OG
Rahmad, pedagang handal, semua barang bisa saja dia jual sebagai bentuk usaha.
Edel, laki-laki paling baik hati hahaha, suka garuk-garuk, dan ingin dirinya menjadi Sp. KK
Dan Khalfi, tak suka difoto, bisa tiba-tiba berubah pikiran secara drastis, tampak bakat sebagai akademisi dan ahli biomolekuler.

Itulah kami :)
Mungkin bagi pembaca, cerita ini kurang ada manfaatnya, namun saya hanya ingin bercerita, inilah kami, dipertemukan dalam sebuah kondisi yang membuat kita bertahan sampai kini, dan semoga sampai nanti :)

Sabtu, 28 Februari 2015

Mereka inginkanku tuk jadi

Kulihat log panggilan di telepon genggamku.
Didominasi 2 orang yang setiap hari memanggil. Yang satu selalu menanyakan:
1. Lagi dimana?
2. Sudah sholat?
3. Sudah makan?
Selalu menanyakan 3 hal ini dan selalu menasihati dan mengingatkan 2 hal terakhir. Selalu.
Dan yang 1 lagi selalu menanyakan:
1. Lagi dimana?
2. Gimana kabarnya? Gapapa?
3. Kapan pulang?
Pertanyaan wajib bagi mereka, selebihnya pertanyaan-pertanyaan yg selalu berubah.
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terlupa dalam setiap panggilan, hampir setiap hari, terkadang bahkan beberapa kali dalam sehari, menanyakan hal yang sama.

Lebih dari setahun hal ini terjadi, dan aku baru menyadari dan memahami sesungguhnya apa yang kedua orangtuaku inginkan.
Mereka selalu menginginkanku untuk menjadi anak yang taat kepada Allah, tak meninggalkan kewajiban meskipun sesibuk apa kegiatan perkuliahan yang sedang ku tempuh. Ya, meskipun sudah dewasa dan segala dosa yang aku perbuat bukan lagi menjadi tanggungan mereka, tapi mereka selalu menginginkan aku selamat, di dunia dan di akhirat.

Yang kedua, mereka ingin aku menjaga kesehatan, ini untuk kepentinganku sendiri utamanya. Nikmat sehat, memang nikmat yang sering terlupakan untuk disyukuri.

Dan yang terakhir, mereka ingin aku meluangkan waktuku, sesibuk apapun, untuk menemui mereka, meskipun hanya sekedar bersua. Mereka inginkan aku menengok mereka. Tak memaksa, tapi berharap. Satu lagi nikmat yang sering orang lupakan, yaitu waktu luang. Aku pun menyadari, bahwa pulang ke rumah adalah salah satu bentuk berbakti kepada orang tua. Hanya dengan pulang, meskipun aku tak membawa apa-apa, tak membawa harta ataupun prestasi, orang tuaku tetap bahagia, tersenyum lebar melihat kedatanganku. Meskipun di rumah aku juga tak banyak membawa manfaat bagi mereka, tapi kehadiranku di rumah cukup berarti bagi mereka. Anak mana yang tak ingin membahagiakan orang tuanya? Pulang adalah cara sederhana untuk menyenangkan orang tua, tapi cara sederhana ini tak semudah itu dilakukan. Aku pun menyadari dan selalu mengusahakannya, tapi orang tuaku tak meminta, mereka hanya bertanya penuh harap kapan anak bungsunya ini pulang dan menemui mereka.

Aku berpikir kembali, kenapa orang tuaku tak pernah bertanya "sudah belajar?". Orang tuaku, seumur hidupku, mulai aku TK hingga kini menempuh pendidikan dokter di kota orang, tak pernah menuntutku untuk memperoleh nilai yang bagus. Orang tuaku tak pernah mematok nilai, mengancam, atau bahkan menghukumku untuk urusan ini.

Aku terus berusaha memahami, kenapa? Di saat banyak cerita dari teman yang aku dengar menggambarkan bahwa orang tua mereka selalu menuntut mereka untuk menjadi juara kelas.
Orang tuaku, tak pernah sedikitpun.
Memang, jalan yang aku pilih sekarang adalah arahan dari orang tuaku. Menjadi mahasiswa kedokteran bukan sepenuhnya pilihanku, tapi aku tak masalah dengan hal itu, karena ketika itu ayah berpesan bahwa ayah ingin punya anak yang bermanfaat untuk orang banyak, menjadi dokter yang tidak money-oriented. Dan aku pun sepaham bahwa menjadi manusia haruslah bermanfaat untuk sesamanya.

Sedikit demi sedikit pemahamanku bertambah.
Orang tuaku, tak pernah menuntutku untuk menjadi orang yang hanya mengejar nilai, karena nilai bisa didapat dengan cara yang tak benar sekalipun. Orang tuaku, hanya ingin aku menjadi hamba yang taat kepada Tuhannya, menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya, dan menjadi sosok yang bermanfaat untuk sesamanya.

Dan kini, aku sungguh bahagia karena aku menulis ini di dalam kamarku, kamar yang aku tinggali semenjak SMA, setelah aku melihat rekahan senyum dari ayah dan ibu yang melihatku pulang.