Jumat, 20 November 2015

Bersamamu, Ibu

"Mad, pindah" kata Khalfi sambil mengusir Rahmad yang menduduki tempat dudukku.
Aku baru saja sampai dan masih ngos-ngosan setelah naik tangga sampai ke lantai 3.
Baru saja aku duduk, belakangku sudah memanggil dan aku pun menengok "Ra, dari Mbak Lusi"
Sebuah undangan resepsi pernikahan bersampul keras berwarna hijau. Mbak Lusi adalah kakak tingkatku di kedokteran, beliau angkatan 2011 dan kami saling mengenal karena pernah menjadi delegasi lomba ke Semarang. "deg" rasa hatiku saat menerimanya. Bukan galau karena ingin segera menyusul, tapi aku terharu. Kami saling mengenal tak terlalu lama, tapi Mbak Lusi masih ingat saja pada adek tingkatnya yang satu ini. Ku akui beliau salah satu figur kakak tingkat yang bisa jadi salah satu panutan. Tanpa pacaran dan menye-menye anak muda, tiba-tiba bulan Syawal kemarin Mbak Lusi mengganti statusnya menjadi "Menikah". Aku turut berbahagia. :) Semoga sakinah mawaddah wa rahmah, barakallahulakum. Aamiin
Hari ini pelajaran jam pertama tak berlangsung lama, beberapa temanku melanjutkannya dengan sarapan. Satria dan Hakiem membawa bekal, nasi goreng masakan Satria. Enak juga. Kata orang, ketika laki-laki bisa masak, dia romantis. Hahaha
Bukan masalah itu, tapi aku cukup malu jika harus kalah dengan seorang laki-laki seperti dia dalam urusan memasak. Asal bicara, aku langsung nyeletuk "Sat, kamu mau ga jadi istriku? kapan lagi ada cewe ngelamar kamu? hahahaha"
Beberapa hari ini Satria selalu membawa makanan yang ia bawa sendiri dan dibagi ke teman-temannya seperti aku. Bahkan dia janji hari Jum'at mau membawakan aku bekal makan siang masakan dia. Kami bersahabat, hidup dalam satu perkumpulan yang tidak sengaja diberi nama AEON. Aku merasa tertantang seperti apa nantinya hasil masakannya. Aku sendiri belum pandai memasak, belum sebulan aku tinggal di kos baruku yang dilengkapi dapur. Aku sudah mulai belajar memasak, tapi aku masih belum percaya diri. Aku saja melarang Rahmad mencicipi bekal masakanku, karena memang Rahmad adalah tipe orang yang suka mengomentari makanan. Aku malu, takut ternyata rasanya tidak enak dan akan mendapat olok-olok dari Rahmad. Hanya dua orang yang benar-benar aku biarkan memakan masakanku hari ini, Khalfi dan Fika, ya mereka adalah sahabat perempuanku yang aku percaya.
Siang ini perkuliahan berjalan cepat, pukul 13.00 aku sudah bisa pulang. Tak sengaja menemukan seorang penjual mangga. Aku tiba-tiba ingin membelinya.
"Berapa, pak?"
"22.000 mbak, satu kilonya 15.000"
(Hah? semahal itu kah? Jujur aku ga tau harga mangga di pasaran)
Aku biasa menikmati mangga gratis di rumah. Karena aku punya sebuah pohon mangga yang selalu berbuah tiap tahunnya. Sampai kos aku ingin sekali menelpon ibuku. Teringat semua kejadian hari ini, aku teringat ibu. Sambil ingin bertanya tentang mangga di rumah, apakah sudah berbuah.
Aku memencet tombol dial dan menunggu sampai ibu mengangkat. Namun ibu tak kunjung menjawab telponku. Aku sadari, saat itu adalah waktu tidur ibuku. Baiklah
Bu, aku kangen. Ingin rasanya pergi meninggalkan semua yang ada disini dan pulang, tidur sama ibu.
Bu, wujud perhatianku tak bisa kuucap dengan kata-kata. Tapi aku benar-benar ingin berbakti pada ibu. Apa yang bisa kulakukan, Bu, untuk membahagian ibu selain sekolah dan belajar dengan benar?
Aku akan mengerjakannya semampuku. Aku ingin membantu meringankan bebanmu, tapi aku pun tak punya cukup daya dan usaha. Ingin berbisnis pun, aku bingung. Aku cukup menghabiskan waktuku di kampus untuk kuliah seharian penuh dan dilanjut rapat hingga matahari terbenam. Aku hanya bisa berhemat saat ini. Menahan segala keinginan beli ini itu untuk menabung dan mungkin nantinya akan memulai sebuah usaha kecil-kecilan. Mudah-mudahan saja berhasil.
Melihat undangan dari Mbak Lusi dan mengingat Ibu secara bersamaan membuatku teringat sebuah obrolan kami saat itu.
"Bu kalau aku lanjut kuliah di luar negeri, ibu seneng?"
"Biayanya gimana?"
"Beasiswa, Bu, doakan saja. Kalau kayak gitu gimana, Bu?"
"yaaa, seneng... tapi nanti anak ibu hilang lagi"
 Itulah seorang ibu, terlebih di masa tuanya, pasti menginginkan bersama dengan buah hatinya. Aku sangat memahami itu. Oleh karenanya aku tak benar-benar kekeuh ingin pergi jauh. Tak seperti dulu, aku selalu ingin kuliah di tempat yang jauh dari rumah, agar aku tak pulang-pulang. Aku kuliah di Malang dan aku sangat bersyukur Malang-Gresik bisa ditempuh paling cepat dalam 2.5 jam dengan kendaraaan pribadi, dan sekitar 4 jam dengan kendaraan umum. Aku bisa pulang kapan saja aku ingin dan mampu.
Tapi sayangnya, aku cukup jarang pulang. 1-1.5 bulan sekali. Padahal targetku 2 minggu sekali aku bisa pulang.
Semuanya karena kegiatan di kampus.
"Jadi kamu nyalahin kegiatan kampus"
"Engga sih, cuma ya gitu lah" 
Hahaha bicara sendiri adalah salah satu hal yang cukup sering kulakukan jika sedang merasakan sebuah pergolakan.
3.5 tahun kuliah S1, lanjut 1.5-2 tahun pendidikan profesi, dan 1 tahun internship. Itu bukan waktu yang cepat. Selama itu aku harus berada di luar rumah. Meninggalkan keluargaku terutama ibuku.
Pernah suatu ketika kakakku berkata "kamu ga usah punya kamar ya, toh nanti setelah lulus kamu menikah dan keluar dari rumah"
Segitunya? Sejarang itukah aku pulang hingga kamarku mau diambil alih? Tapi memang benar, aku sudah jarang memakai kamarku, setiap pulang pun aku tidur di kamar ibu.
●●●
"Kamu nikah aja sama orang Lumajang"
"Orang Lumajang siapa cobaa?" Tanyaku sedikit nyolot pada kakak perempuanku
Kami sedang bercanda saat itu, masih dalam suasana lebaran Ied Fitri, hingga turunlah dari lantai 2 kakak laki-lakiku, sekaligus Waliku.
"Coba, coba tanya ke bapak wali" kata Mbak Icha
"Kalo aku nikah sama orang Gresik gimana?"
"Enak dong deket, ya kalo bisa yang deket"
"Kalo orang Jawa Barat? Kalimantan? Probolinggo?"
"Jauh amat"
"Kalo orang Malang?"
"Banyak banget sih pilihannya.. emang laku?" Kalimat terakhir itu membuatku diam menahan tawa dan bertanya pada ibuku
"Bu, kalo ternyata jodohku bukan orang daerah sini atau nanti habis nikah aku hidupnya pindah-pindah ngikut suami gimana, Bu?"
"Terserah kamu, paling ibu juga udah meninggal"
Sebuah kalimat yang singkat dan menakutkan. Setelah ibuku kehilangan ayah memang ibu jadi sering begini. Seperti kehilangan sebagian besar semangat hidup.
Tapi, Bu...
Haruskah yang Ibu bayangkan seperti itu? Apa Ibu tidak ingin melihat aku jadi orang dewasa yang sesungguhnya?
Bu jika waktu bisa dihentikan, aku akan minta waktu berhenti saat ibu bersamaku, saat kita bahagia, tanpa sedih sedikitpun.
Tapi, Bu. Hidup memang sudah diatur segalanya oleh Allah.
Kita tak tahu, bisa saja aku pergi lebih dulu sebelum ibu.
Tapi yang pasti, siapapun yang mendahului, aku ingin terus bersama ibu, kelak di surga, berkumpul dengan keluarga dan orang-orang yang kita cinta.
Saat ini, aku benar-benar ingin pulang.
-Bahira-