Kamis, 30 Juli 2015

Kursi Ayah

"Raa, Ira, Ra..."
Aku langsung berlari menghampiri ayah.
Akhir-akhir ini ayah sering sekali menghabiskan waktunya di teras. Menduduki sebuah kursi kayu yang ayah beli dari toko meubel di daerah Pasuruan. Kursi itu baru-baru ini saja berada di luar. Sejak ayahku sering menghabiskan waktunya di teras rumah. 2 buah kursi kayu berwarna coklat. Satu untuk meletakkan badan ayah, dan satu untuk menyelonjorkan kaki ayah.

Ayah duduk di teras tepat di depan kamarku. Kami hanya dipisahkan oleh kaca kamar yang sekaligus menjadi dinding bagian depan kamarku. Cukup mudah bagi ayah jika sedang butuh sesuatu, ayah bisa memanggilku, atau dengan mengetuk kaca kamarku.

Tanpa aku berkata, ayah sudah bisa membaca maksud kedatanganku, ayah langsung mengutarakan keinginannya. "Tolong oleskan bedak di kaki ayah"

Berlari kecil, mengambil bedak bayi yang memang biasa digunakan untuk kaki ayah.
Kaki ayah terluka, seperti pecah, terbuka, terlihat daging merah muda yang bersih. Pedih, aku yakin itu sangat pedih.
Berjalan pun ayah sempoyongan, kakinya sakit.
Ibu telah membelikan ayah sepatu sandal, dari depan nampak seperti sepatu, tapi bagian belakangnya bukan sepatu. Sepatu ayah sudah beberapa lama tak digunakan karena ayah terlalu kesakitan jika dipaksa menggunakan sepatu, mungkin sesak, namun ayah tetap harus bekerja dengan rapih.

Ku oles bedak itu pelan-pelan, membalut seluruh luka di sela-sela jari kaki ayahku, kulihat ayah mengernyitkan muka, sedikit kesakitan. Tanpa banyak bicara aku melakukannya. Hanya miris melihatnya. Ayahku, kasian sekali.
"Sudah rata, yah".
"Iya, terima kasih, terima kasih banyak"
Kata-kata itu, selalu membuatku tak enak hati. Setiap kali aku melakukan sesuatu untuk membantu ayahku, ayah selalu berterima kasih padaku, bahkan untuk hal-hal yang terlalu sederhana, yang bagiku tak mengeluarkan tenaga, dan sangat tak perlu untuk diapresiasi.

Berbeda sekali denganku. Seorang anak dengan ego dan gengsi yang cukup tinggi. Terkadang aku meminta sesuatu pada orang tuaku atau kadang ayah dan ibuku memberiku sesuatu dengan cuma-cuma, tapi aku tak mengucap terima kasih kepada orang tuaku dengan lisan. Aku malu, padahal seucap terima kasih tidak akan menurunkan derajatku sama sekali. Justru sebenarnya derajatku memang sudah sangat jauh di bawah kedua orang tuaku.

Tapi anak kecil ini selalu belajar. Membunuh setiap gengsi dan berlatih mengucap terima kasih kepada orang tuanya.
"Seberapa banyak pun kamu berterima kasih, kamu tak akan bisa membalas jasa-jasanya. Catat, ingat!"

●●●

Hampir 3 bulan berlalu dari kepergian ayah. Ayah telah berlayar di alam baka.
Aku kini tak lagi mendengar panggilan dari depan kamarku.
Sesekali aku membuka gorden, mengintip ke luar, hanya ada kursi usang yang dulu menemani ayahku menghabiskan waktu di saat-saat terakhir hidupnya.
"Malang sekali kamu, kursi. Tak ada lagi yang mendudukimu kini."
Lalu ku tutup kembali kain penutup kaca itu.

Segala benda peninggalan ayahku kini menjadi perantara kami untuk mengenang ayah.

Aku dulu tak tau arti kenangan, tapi kini, aku benar-benar mengerti dan paham. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi kau akan tahu ketika kau  kehilangan sesuatu yang sangat engkau cinta.

●●●

"Ra, kamu ga pengen beli cat? Vernis."
"Vernis tuh buat apa, bu?"
"Buat kayu, buat ngecat kursi ayah yang di depan itu. Udah jelek banget kan. Biar bagus lagi"

Saat itu, aku yang baru saja mengantar ibu dari Puskesmas untuk check up dan mengambil obat di apotek langsung saja mengarahkan mobil ke toko bahan bangunan milik Paman (Adik Ibuku).

"Mbak, beli"
"Eh, Ira. Beli apa?" Pegawai Paman yang sudah kukenal menyapaku, tapi sayangnya aku lupa nama Mbak ini. Payah memang aku ini.

Kujelaskan maksudku, ku pilih warna sesuai keinginanku, dan aku bertanya cara mengaplikasikannya. Hanya bermodal 35 ribu, aku dapatkan 1 wadah vernis dan 1 buah kuas untuk melakukan pemolesan.

Setibanya aku di rumah, aku tak langsung mengerjakan project-ku.
Hari cukup panas di Gresik, saat itu sekitar pukul setengah 1 siang.
Aku melakukan aktivitas seperti makan, sholat, menonton TV, dan bermain gadget karena siang itu aku tak bisa tidur siang.

Bosan dengan semuanya, aku mengambil jilbabku, vernis, dan kuas. Aku keluar menuju teras untuk melihat kondisi kursi ayah.
"Sangat usang dan jelek" batinku.
Aku mulai menyiapkan kebutuhan lain seperti lap dan air untuk membersihkan debu yang telah banyak menempel sejak ayahku tak lagi menduduki kursi itu.

Sebelum aku memulai pekerjaanku, kakak laki-lakiku datang. Ia membantuku dipermulaan untuk mengecat kaki kursi. Tapi aku tak tahan, tanganku sangat gatal.
"Sini, biar aku saja yang ngecat. Udah, aku bisa kok"
Dengan sedikit pemaksaan, akhirnya aku berhasil membuat kakakku menyerahkan kuasnya.

Gerakan tanganku mulai menyusuri setiap bagian dari kursi kayu itu.
"Ah ternyata capek juga ya jadi tukang" sedikit kuusap keringatku.

Setiap detik aku mengingat ayah sembari menjangkau detail-detail kecil kursi dengan kuasku.
"Perempuan harus bisa melakukan pekerjaan laki-laki" pesan ayahku dulu ketika beliau sehat.
"Kamu harus bisa melakukan apa-apa tanpa ayah."
Ayahku mengajarkanku bagaimana cara membandrek mobil mogok, mengganti lampu, memperbaiki yang bocor, memaku, mengecat, menggergaji, dan sebagainya.
Ayah selalu berpesan padaku untuk jadi perempuan yang mandiri.
Dan aku beruntung pernah mendapat banyak ilmu dari ayahku.

"Raaa, cucian belum selesai disetrika, udah ngerjain yang lain aja" ku dengar ibuku berteriak memanggilku.
"Aku bosan, biar aku kerjakan ini dulu, Bu" yaaa, aku tengah bosan menyetrika bajuku yang telah kering dan ku angkat dari jemuran.

"Ibu ini, ganggu aku nostalgia aja" aku hanya membatin, tapi aku juga tertawa melihat kelakuanku sendiri.

Kaki hingga badan kursi telah aku cat.
"Cantik sekali"

Ada sedikit rasa puas di hati, berhasil melakukan hal-hal yang dulu diajarkan ayah padaku. Ayah selalu mengajarkan kesederhanaan pada anak-anaknya. "Ayahku yang multitalenta, semoga engkau senang melihat anak kecilmu ini tumbuh dewasa, mencoba mandiri tanpamu."

Kursi ini akan segera bisa digunakan di dalam rumah. "Kau tak kan kesepian lagi di luar" ucapku pada kursi ayah.

Sebelumnnya aku telah memotret kursi itu, dan setelah dicat, aku sempatkan memotretnya lagi. Aku ingin tahu perbedaan before-after-nya.

Selasa, 28 Juli 2015

Mengejar dunia untuk akhirat?

"Memangnya bisa mengejar dunia untuk akhirat?"
Pikiran dan nuraniku sulit sekali berjalan beriringan dan sepakat akan hal ini.

Semangatku pun sama seperti iman, yazid wa yankus, turun-naik-turun-naik.

Siapa saja boleh bercita-cita, termasuk seorang perempuan berusia 20 tahun yang menulis tulisan ini.

Jika aku diminta memilih antara dunia dan akhirat, aku pasti menjawab aku ingin meraih keduanya, menggeggam keduanya.
Tapi, aku hanya manusia biasa yang tak punya daya dan upaya kecuali jika Tuhanku Yang Mahakuasa memberinya.

Aku pernah sangat bersemangat dalam membuat rencana hidup setelah membaca beberapa buku motivasi. Aku sangat bergairah untuk mendapat dunia dan tetap meraih keindahan abadi di kehidupan akhir yang sesungguhnya nanti.

Aku tidak akan menceritakan planning itu di tulisan ini karena aku rasa akan terlalu panjang, biar nanti aku ceritakan di postingan lain di lain kesempatan jika Allah Ta'ala masih memberiku kesempatan.

Aku mulai mengikuti beberapa organisasi untuk mengembangkan diriku, aku berharap aku bisa berkembang pesat hingga melejit dan nantinya aku bisa meraih segala macam cita-cita mulia yang didambakan hati kecil dan pikiranku yang saat itu sepakat untuk mengejarnya.

Tapi rupanya diri ini bagai kapal di tengah lautan. Air tak kan pernah berhenti bergerak. Setenang apapun ombaknya, kapal akan terus bergoyang mengikuti gerakan air laut. Sepertinya itulah aku. Kecil di tengah laut, mudah sekali terombang ambing.

Jika aku berada di tempatku menimba ilmu dunia, aku begitu optimis bisa mencapainya, tapi ketika aku pulang ke tempat asalku, mendalami ajaran agamaku, justru aku semakin tak bersemangat mengejar dunia. "kenapa aku tidak fokus saja dengan akhiratku? Untuk apa aku mengejar dunia? Memang sukses di dunia dibawa mati? Bukannya yang paling dinanti dalam hidup adalah ucapan Laa ilaha illallah sebelum nyawa ini benar-benar dicabut dari raga?"

Apakah semua harapanku hanya nafsu? Dan apakah aku mendapat siraman air ketika aku mendalami agamaku sehingga api itu mulai padam? Entahlah aku pun tak memahami sebenarnya apa yang terjadi dalam diriku.
Mungkin engkau yang membaca ini pun bingung dan menganggapku aneh. Tapi aku benar-benar tak tahu apa jawaban dari pertanyaan pertanyaanku.

Aku kehilangan semangatku yang berapi-api untuk mengejar mimpi yang kurangkai sendiri. Aku sempat berfikir, saat nanti waktunya tiba, aku akan mengakhiri kontribusiku di organisasi yang menurutku bisa menjadikanku berkembang meraih dunia untuk menjemput akhirat, kemudian berfokus berbakti ke orang tua, menyelesaikan studi pendidikan dokterku, dan rajin mengikuti kajian. Tapi aku takut pikiran ini hanya sebatas kejenuhanku saja terhadap rutinitas organisasi.

Dunia dan akhirat bagaikan minyak dan air, mereka dapat disatukan dengan membuat emulsi menggunakan sabun. Tapi, aku belum memiliki sabun itu. Dimana aku bisa mendapatkannya? Aku bisa membelinya? Jika iya, apa yang harus aku korbankan? Jika tidak, apa yang harus aku lakukan?

Seharusnya aku sholat, bukan malah menulis di blog. CMIIW.
Tapi aku tak diizinkan sholat saat ini. Mungkin mengingat Allah akan lebih melegakan dibanding dengan menulis blog ini. Tapi, jika kau punya saran dan pendapat mengenai hal ini, aku sangat welcome untuk berbagi, chat saja @bahiraa di LINE atau nbahiratul@gmail.com

Trims,

Bahira

Jumat, 24 Juli 2015

Selamat jalan "pangeran berkuda"

Seperti pagi-pagi yang lain, kumandang adzan shubuh menggetarkan gendang telinga, memberi impuls kepada seorang muslim untuk segera membuka mata, menghadap kepada Tuhannya.
Aku segera membuka mata, mematikan notifikasi dari Noteku. Belum ingin segera beranjak, aku masih memutar badanku di atas kasur kotak dan empuk itu, ingin sekali menarik kembali selimut di pagi yang dingin itu, benar-benar dingin, tak sedingin biasanya. Aku kira Gresik sudah berubah menjadi Malang di musim Maba.
Ibu mengucapkan sebuah kata yang ampuh "Shubuh, Ra" lalu melanjutkannya dengan takbiratul ihram. Aku mulai menggerakkan setiap tulang punggungku, mencoba menyusun tulang-tulang belakang itu hingga ke posisi anatomis. Mataku melihat sebuah lampu indikator menyala dan saat itu pun aku menyadari bahwa ini bukan dinginnya Malang, mungkin aku rindu pada kota rantauku. Ibuku malam tadi menyalakan AC dan juga kipas, pantas saja suasana tidur malam tadi tak seperti biasanya.
Di tengah sholat ibuku, dengan sedikit mengeluh "dingin" aku beranjak ke kamarku, aku kini tak tidur sendiri, aku tidur di kamar orang tuaku sejak aku merantau di Malang dan hanya sehari pulang. Terutama kini aku wajib menemani ibuku tidur di kamarnya sejak ayah mendahului kami. Aku mulai mengganti pakaian tidur yang tidak diketahui kesuciannya, mungkin saja aku memproduksi saliva saat tidur dan menetes ke bajuku, atau mungkin darah nyamuk yang tak sengaja ku pukul malam tadi mengotori baju tidur itu. Masih disertai kedinginan yang belum habis dari kamar ibu, aku mulai memutar kran air, mencuci tangan, berkumur, sedikit membasuh mata, lalu berwudhu.
Sholat shubuh sudah kudirikan. Biasanya setelah itu aku mulai mendengar rekaman dari guru agamaku dan menuliskan terjemahan dari kitab yang akan dipelajari setiap jam 6 pagi. Tapi, aktivitas hari ini sedikit berbeda dengan pagi-pagi biasanya. Hari ini ngaji diliburkan karena guruku harus pergi ke suatu tempat selama beberapa hari. Tak ingin kembali tidur dan kehilangan berkah pagi hari, aku memandangi kamarku. Yah, kamar yang cukup kotor, sudah beberapa bulan mungkin bahkan setahun aku tidak menempati kamar itu, hanya tempat pakaian dan kadang aku gunakan untuk sholat saja agar masih tetap terjamah.
Masker kukenakan karena aku rasa tak kuat menahan debu yang masuk terperangkap di lubang hidung. Aku mulai dari kolong bawah kasur. Merasa itu sangat kotor, aku pun mengambil handscoon, tampilanku sudah mirip seperti saat mau praktikum, hanya saja aku tak memakai baju pelindung.
Di tengah-tengah sapuan tanganku terhadap debu-debu di kamar, aku mendengar speaker langgar berbunyi. Aku mencoba menebak "sepertinya ini berita duka, tapi siapa". Aku menyimak, memperhatikan setiap suku kata tapi tetap saja suaranya cukup samar, pemberi pengumuman sepertinya menyebut nama "Mad Chozin usia 60 tahun".
Aku mereka-reka. Usianya sama seperti ayahku, namanya seperti aku pernah dengar, tapi entah siapa, aku tak bisa menyambungkan sinaps untuk mendapat memori tentang nama itu.
Aku mulai mengabaikan berita tadi. Hanya sempat mendoakan kepada si mayit lalu aku kembali ke urusanku. Hingga kakak sulungku muncul karena dia akan segera berangkat menuju rumah sakit. Kakakku seorang dokter, Izzuddin Syahbana namanya, tapi aku biasa memanggilnya Cak Yud. Aku mendengar sedikit percakapan ibuku dan kakakku, tapi kurang jelas. Hingga akhirnya ibu mendekati pintu kamarku dan berkata "Ra, kak Lajim meninggal dunia". Aku pun tersentak, kaget. Ternyata bukan Mad Chozin, tetapi Achmad Lazim.
Kak Lajim adalah tetanggaku di rumah lamaku yang sekarang dijadikan toko dan gudang. Sewaktu aku kecil, setiap hari libur aku selalu meminta untuk naik ke dokar milik Kak Lajim. Ia membawa anak-anak kecil berkeliling dengan ditemani alunan lagu anak-anak, abang tukang bakso adalah salah satu favoritku. Tak seperti anak-anak zaman sekarang yang berjalan-jalan menaiki kereta-kereta kecil dengan iringan musik dangdut yang sarat akan lirik-lirik yang menggoda dan jorok, tidak cocok sama sekali untuk anak kecil, sangat tidak mendidik.
Aku masih ingat bagaimana girangnya hatiku ketika rute jalan-jalan dengan kereta kuda waktu itu diganti. Biasanya hanya berputar di sekitar Manyar, tapi saat itu Kak Lajim membawa anak-anak kecil ini ke GKB yang saat itu masih belum seramai sekarang. Hanya membayar 1000 rupiah saat itu aku sudah bisa berjalan-jalan jauh (waktu itu aku menganggapnya jauh).
Ibuku belum bisa keluar untuk melayat karena masih dalam masa iddahnya, jadilah aku yang harus mewakili melayat menyampaikan bela sungkawa keluarga kami. Aku ikut tahlil dan menyaksikan jenazah Kak Lajim dibawa ke Masjid untuk disholati. Aku pun sempat mendengar cerita dari istri yang beliau tinggalkan. Beliau orang yang luar biasa, bahkan di akhir sebelum beliau sakit dan tak bisa kemana-mana, beliau memperjuangkan sholat berjama'ah. Saat itu istri beliau melarang beliau keluar karena alasan kesehatan beliau yang sangat menurun, namun beliau menolak "Dulu aku sholat di Masjid, sekarang turun di Musholla, masa sekarang mau ga ikut jama'ah, pahalanya cuma 1". Beliau tetap berangkat ke musholla, menaiki sepeda pancalnya. Dan saat itu terakhir beliau berjamaah, karena sepulang dari musholla, beliau jatuh dari sepedanya di jalan. Hingga akhirnya beliau sakit selama kurang lebih 1 bulan setelah jatuh itu dan diambil nyawanya hari ini, sekitar pukul 04.00 dini hari.
Selamat jalan "pangeran berkuda", semoga segala amal ibadahmu diterima. Mohon ampuni beliau Ya Allah.
Aaamiin
Tertanda,
Penumpang dokarmu yang dulu kecil dan kini sudah dewasa.
●●●
Akhir-akhir ini aku cukup aktif menulis, mungkin karena libur, aku jadi memiliki cukup waktu untuk mencurahkan segala sesuatu yang ada di pikiranku.
Mohon maaf kepada sahabatku, aku kemarin berkata bahwa postingan di blogku selanjutnya akan menceritakan mengenai "Bahira", namun berita duka ini membuatku belum bisa menuliskan "Bahira"ku.
Aku pun ingin menceritakan tentang pergolakan pikiranku akan karirku di masa depan dan tentang perubahanku saat ini. Tapi tunggu saja, aku akan segera membuatnya saat aku sempat.
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Selasa, 21 Juli 2015

Bersembunyi di Balik Usia: Motivasi diri (Part 2)

Usia muda, usia tua, anak-anak, remaja, dewasa mempunyai masanya masing-masing.
Bayi hingga anak-anak adalah masa dimana kita belajar sambil bermain. Penuh ketulusan, kepolosan, keluguan, dan hidup tampak begitu mudah, tanpa masalah. Masalah anak-anak sebagian mungkin diselesaikan dengan menangis dan merengek, lalu orang tua sang anak lah yang menyelesaikan masalahnya.
Masa remaja, dimana seseorang mulai menggali dan mencari jati dirinya serta tumbuh menjadi seorang sosok yang cukup memiliki peran di masyarakat. Masa-masa ini merupakan penentu kehidupan seseorang di masa depan. Jika seseorang bisa terlepas dari kehidupan gelap remaja, kemungkinan besar ia akan tumbuh dewasa menuju kesuksesan. Namun, orang-orang yang terjebak dalam ruang gelap sebuah kehidupan remaja, kebanyakan karir mereka hancur, meskipun tidak menutup kemungkinan mereka dapat sukses dengan perubahan-perubahan yang mereka lakukan seiring berjalannya hari.
Seseorang mulai menentukan alur kehidupan apa yang akan mereka jalani pada masa SMA, dimana statusnya merupakan seorang remaja. Siswa SMA, mulai memandang masa depan dan menentukan lanjut ke jenjang perguruan yang lebih tinggi, ataukah mencukupkan pendidikannya. Jika lanjut pun, mereka harus menentukan bidang apa yang akan mereka geluti, profesi apa yang ingin mereka hayati
----
That's all
Ini adalah satu dari dua postingan yang ingin aku tulis ketika aku melihat ayahku diuji dan digugurkan dosa-dosanya oleh Allah SWT (22 Maret 2015)
Aku bahkan lupa ingin menulis apa karena saat itu aku terlalu sibuk hingga tak bisa menyelesaikan tulisan ini
Tapi yang pasti, ini untuk ayah, seseorang yang telah menginspirasiku, membuatku jatuh hati akan kepiawaiannya melakukan segala sesuatu.
Salah satu hal yang sangat aku ingat dari petuah ayah adalah "Tholabul 'ilmi minal mahdi ilallahdi" (semoga aku benar menuliskannya, belum sempat browsing lagi)
Ya.. itu lah ayahku.
Beliau adalah orang yang sangat gemar mencari ilmu, tak hanya ilmu agama, ilmu dunia pun ayahku tak memandangnya sebelah mata.
Ayahku, seorang hakim di Pengadilan Agama, dengan basic pesantrennya, melanjutkan studi S3nya di usia ke 58, tepat bersamaan denganku ketika mulai studiku di S1 Pendidikan Dokter.
Saat ayahku pergi, beliau sedang dalam penyelesaian S3nya, ujian publik untuk disertasinya tertunda karena kondisi kesehatannya yang berkurang, dan setelah itu ayahku pun diwisuda oleh ajal.
Beliau benar-benar menjalankan nasehatnya untukku.
Aku ingat betul saat ayah memberi petuah itu, ayah sedang memintaku membantu beliau menyiapkan berkas untuk mendaftar kuliah di Universitas Islam Bandung. Aku kurang tau bidang apa yg ingin beliau dalami, tapi yang aku tahu ayahku belajar hukum-hukum Islam.
Selain berpesan untuk menuntut ilmu sampai akhir hayat, ayah juga berpesan untukku, agar kelak dr. Bahira menjadi dokter yang baik, yang tidak hanya mencari materi, tapi justru memberi manfaat khususnya kepada kaum-kaum yang sangat membutuhkan dan terkendala biaya.
Ayah, terima kasih telah mendidikku selama ini.
Terima kasih telah menyekolahkanku sampai setinggi ini, semoga aku dapat menjadi amal jariyahmu.
Salam rindu,
dr. Bahira

Minggu, 19 Juli 2015

Ahlan wa sahlan Syawal :)

"Ini merupakan hari kedua di Bulan Syawal dan ibuku masih saja iseng menggodaku"
●●●
Assalamu'alaikum Syawal :)
Terima kasih karena telah datang dan memberikan kebahagiaan bagi setiap insan, termasuk aku.
Syawal, sebuah bulan yang sangat dinanti setelah 29 sampai 30 hari berpuasa.
Bagiku Syawal adalah surga dunia karena aku bisa berlibur beberapa hari setelah setiap hari menjadi pedagang di toko.
Yap aku membantu ibuku berjualan di toko, setiap hari.
Terutama kini ayah telah pergi mendahului kami, kami harus extra berjuang untuk menafkahi diri kami, toko inilah yang telah berpuluh tahun menjadi pintu rezeki keluarga kami, terutama ketika gaji ayah masih tak cukup untuk keluarga, toko inilah yang menjadi pintu rezeki utama kami.
Tak hanya libur sejenak yang kusuka dari Syawal. Syawal selalu menjadi momentum untuk menyambung silaturrahim dengan kerabat dan juga saudara, yang jauh maupun yang dekat, semua terjadi di Bulan ini.
Orang tua bersilaturrahim, biasalah pasti yang diomongkan kebanyakan seputar anak-anak mereka.
Begitu pula ibuku.
●●●

Ibu (I): "Ra, ayo cepat. Kalian harus segera ke Bu Um"
Sore itu ibuku memanggil menyuruhku dan kakak-kakakku unjung ke guru ngajiku, Bu Um.
Aku (A) : "yaaa"
Aku pun segera berlari dari kamar ke ruang tamu, menghampiri ibuku, dan duduk dihadapannya sambil memasang kaos kakiku.
I : "Ra, tadi ada yang ngajak ibu besanan"
A: "Ha? Siapa? Males ih" balasku ketus
I: "itu, anaknya Pak T, teman ayahmu. Anaknya kuliah di Unair, jurusannya ibu lupa, tadi ibu bilang sama bapaknya kalau kamu sekarang udah makin cantik"
A: "apaan sih, Bu" aku berusaha menghindari obrolan itu
Mbak Icha (M), kakak perempuanku, tiba-tiba menyahuti
M: "ih ibu, si Ira kan udah punya Azam"
I: "oh iya, Ira kan udah punya, siapa itu namanya, bukan Azam"
A: "haaah? Azam siapa pula? Anak betoyo temen sekelasku dulu? Anak Bu X yang ga pernah masuk kuliah itu? Ogaaah"
Tiba-tiba Mbak Icha menyebut sebuah nama, nama itu memang benar orang yang aku suka, sebenarnya aku curiga jangan-jangan Mbak Icha membuka Noteku tanpa sepengetahuanku.
Dan seketika itu, seisi rumahku tau siapa namanya, tapi aku tak pernah meng-iya-kan. Aku biarkan saja mereka menafsirkan kebenaran sesuatu itu dengan pikiran mereka masing-masing.
Tak ingin berlama-lama aku pun segera mengalihkan pembicaraan
A: "apa sih ini, aku masih semester 4 mau naik semester 5 juga udah main besan-besanan aja"
Aah rupanya aku menemukan sebuah jawaban dari kecurigaanku terhadap ibuku yang sepanjang Ramadhan selalu menanyaiku tentang siapa pacarku.
●●●
Semenjak ayah pergi, aku semakin dekat dan terbuka dengan ibuku, kami jadi semakin sering bercanda. Aku sangat senang melihat ibuku tertawa di tengah kesedihannya yang belum terobati hingga kini
Waktu itu, minggu pertama Ramadhan, setibaku dari perantauan, ibuku selalu memprotes diriku yang tak memakai bedak. Yah aku memang malas berdandan, kecuali jika akan berangkat kuliah, aku hanya memakai lip balm tanpa warna agar bibirku tak kering, celak tipis atau yang orang masa kini menyebutnya eye liner, moisturizer agar wajahku lembab, dan bedak secukupnya, setidaknya aku tidak terlihat terlalu kusam di tengah teman-temanku yang mengkilap.
Di rumah, hampir tiap hari ibuku berkata "pake bedak dong, Ra, biar cantik dikit"
Yaaah hampir setiap hari ibu berkata seperti itu dan aku hanya menjawab dengan candaan "iyaa, ini sudah cantik kok. Nanti kalau cantik, banyak yang naksir, ibu bingung. Hahaha"
Suatu ketika, ibu sudah tak tahan melihatku, akhirnya ibu berniat membelikanku peralatan kecantikan.
Aku, Ibuku, dan Mbak Icha pergi bersama.
Saat itu hanya kami bertiga, belanja make up, dilanjut dengan belanja makanan beku untuk suguhan lebaran.
Aku membeli sepaket make up untuk treatment jerawat.
Yah mukaku mulai berjerawat semenjak aku tinggal di Malang, entah kenapa. Aku tak membeli produk lightening karena aku tak mau terlihat putih hanya di wajah hahahaha.
Setelah membeli semuanya, kami pulang.
Di tengah perjalanan ibuku selalu mengusikku dengan pertanyaan-pertanyaan yang setiap hari diajukannya. Ibu bertanya soal pacar. Aku biasanya menjawab "ga punya pacaaaar" sambil teriak.
Tapi kini, aku yang sudah bosan dengan jawabanku yang biasanya, mulai membuka mulut dengan lembutnya.
"Ga punya pacar, ibu. Ada sih aku naksir seseorang, tapi gatau dianya juga suka apa enggak"
I: "wah alhamdulillah, berarti kamu normal. Tapi dia ga suka kamu? Bertepuk sebelah tangan dong"
[Aku kaget -_- jadi selama ini ibu berpikir aku ga normal karena ga pernah jalan sama cowo ???? ]
A: "aku nggak tau bu dia suka apa engga, kayaknya sih suka hahahaha, tapi ga tau deh, Bu.. udah ah"
Aku mulai menyudahi, tapi ibuku lagi dan lagi terus menginterogasi
I: "anak kedokteran? Kalau bisa yang sama-sama dokter"
A: "emang kenapa kalau bukan dokter?"
I: "ya gapapa sih"
Mbak Icha menyela
M: "yaaa , biar seprofesi aja"
A: "kalau bukan dokter gimana, Bu? Ga setuju?"
I: "ya enggak juga sih. Kalau bisa cari yang lebih tua"
A: "lah emang kenapa?"
I: "biar matinya ga bareng"
Hah? Alasan apalagi itu. Mana ada? Rezeki, jodoh, dan mati kan di tangan Allah.
A: "kalau kakak tingkat anak kedokteran sampe saat ini belum ada yang cocok"
Sepanjang Ramadhan ibu selalu menanyakan hal itu. Aku ingin menyebutkan ciri-cirinya, tapi aku tak ingin memberi harapan palsu ke ibuku. Aku hanya pernah secara kebetulan berkata
A: "wah ini baju siapa masih baru? Bagus lagi. Tp kok XL ya"
I: "baju ayah, belum pernah dipakai, kenapa? mau buat calon kamu?"
A:" "ya ga cukup, buat aku ukuran L aja hahaha"
I: "jadi dia gendut?"
Aku biarkan ibuku mengira-ngira seperti apa dia. Sebenarnya aku juga tidak tahu ukuran bajunya, aku hanya mengira-ngira dengan pengalamanku yang kurasa cukup dalam berjualan pakaian di toko biasanya.
Aku pergi begitu saja. Aku tak ingin membiarkan ibuku semakin berimajinasi. Ya kalau memang berjodoh? Biar nanti saja jika sudah dekat waktunya, biar aku kenalkan siapa orang itu, jika memang dia.
●●●
Terima kasih Syawal, kau telah menyambutku dengan sebuah mimpi :)
Aku tak tau apa itu mimpi buruk pertanda sesuatu? Atau justru itu pertanda baik? Wallahu a'lam
Wassalamu'alaikum
Sampai bertemu dengan Syawal-Syawal selanjutnya jika Allah berkehendak :)
Aku akan membawakan cerita lain di Syawal yang lain
Regards,
Bahira

Senin, 06 Juli 2015

So Soon

This song is dedicated to my beloved father who went very soon
Happy 60th birthday, Ayah
Hope you will always be shaded by His mercy and gather with us in His Jannah ♡

So Soon - Maher Zain

Every time I close my eyes I see you in front of me
I still can hear your voice calling out my name
And I remember all the stories you told me
I miss the time you were around [x2]
But I’m so grateful for every moment I spent with you
‘Cause I know life won’t last forever

You went so soon, so soon
You left so soon, so soon
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone
Gone so soon

Night and day, I still feel you are close to me
And I remember you in every prayer that I make
Every single day may you be shaded by His mercy
But life is not the same, and it will never be the same
But I’m so thankful for every memory I shared with you
‘Cause I know this life is not forever

You went so soon, so soon
You left so soon, so soon
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone

There were days when I had no strength to go on
I felt so weak and I just couldn’t help asking: “Why?”
But I got through all the pain when I truly accepted
That to God we all belong, and to Him we’ll return, ooh

You went so soon, so soon
You left so soon, so soon
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone
Gone so soon

Surat kecil untuk yang kucinta

Hari ini ibu berulang tahun dan besok adalah hari ulang tahun ayah. Apa yang bisa seorang anak lakukan untuk membahagiakan orang tuanya selain berbakti kepada keduanya? Berbakti dengan cara yang berbeda karena keduanya kini telah terpisah, berbeda dunia.
Ibu.. Aku, akan berusaha mematuhi segala perintahmu selama itu tidak bertentangan dengan perintah Allah.
Ayah.. Aku akan mengenangmu, mengirimkan doa-doa terbaikku untukmu.
"Ya Allah ampuni aku dan kedua orang tuaku dan sayangilah keduanya seperti mereka menyayangiku waktu kecil. Jadikanlah kami orang-orang yang selalu mendirikan sholat. Wafatkan kami dalam khusnul khotimah. Bebaskan kami dari siksa kubur. Dan masukkan kami ke dalam surga tanpa hisab"
Salam penuh cinta,
Anak bungsumu

Jumat, 03 Juli 2015

Aku dan Profesiku

Untukmu, seseorang yang mungkin akan menjadi teman hidupku.
Aku harap kau memahami bahwa aku adalah aku.
Layaknya seorang perempuan memang berada di rumah. 
Menjaga dirinya, martabatnya, hartanya, dan keturunannya.
Aku perempuan yang sadar betul akan hal itu.
Tapi aku ...
Aku tak bisa menjanjikan bahwa diriku akan terus berada di rumah dan sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak-anak kita.
Mengabdi dengan sepenuh hati dan sepenuh waktu untukmu, siapa yang tak ingin?
Aku sangat ingin. 
Menghabiskan waktuku melihat anak-anak tumbuh dan berkembang dalam genggamanku, tanpa melewatkan satu pun momen kehidupan mereka.
Tapi, kelak aku akan disumpah untuk menjalankan profesiku.
Sebuah profesi mulia yang diharapkan bisa membantu masyarakat.
Bukan uang yang kucari.
Aku yakin, tanpa aku bekerja, Allah akan memberikan rezeki itu melalui dirimu.
Aku hanya ingin bermanfaat untuk orang banyak.
Tak kuingkari, aku pun ingin lebih bermanfaat untukmu dan keturunan kita kelak.
Istri paruh waktu? Mungkinkah?
Entah aku tak tahu.
Aku hanya berharap kau memahami profesiku kelak, aku mohon jangan cegah aku untuk memberikan pertolongan ke pasien yang membutuhkan bantuanku.
Dan jangan halangi aku untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan lebih tinggi. Karena sejatinya aku harus belajar seumur hidup.
Kau tak perlu khawatir, aku pun akan tetap berusaha melakukan segala yang aku bisa demi kebaikan bersama. 
Mungkin itu akan melelahkan. Tapi aku harap kau selalu disisiku.
Memahami dan mendukungku sepenuhnya.
Menyuntikkan semangat dan kekuatan baru ketika aku terjatuh.
Aku janji akan berusaha memberikan yang terbaik dari diriku.


Warmest regards,
Bahira