Kamis, 16 April 2015

Pembalasan yang tak tuntas

16 / 04 / 2015
Di tanggal itu aku ingin menulis, namun hanya judul yang sempat aku tulis.
"Pembalasan yang tak tuntas"
Awalnya tulisan ini aku dedikasikan untuk Ayahku yang saat itu sedang sakit.
Tepat satu hari sebelum aku ujian blok Neuropsikiatri, yakni Kamis siang (9 April 2015), satu minggu dari pembuatan judul tulisan ini, Ayah jatuh sakit, tak sadarkan diri. Hal itu mengakibatkan beliau harus dilarikan ke IGD.
Aku bahkan tak mengetahui hal tersebut hingga malam harinya ibu menelpon.
Sedih, bingung, itulah yang bisa aku rasakan.
Mbak Ica (kakak perempuanku) malam itu menelpon dengan tangisan, meminta aku segera pulang.
Aku bimbang, aku yakin ayahku akan baik-baik saja. Tapi mendengar tangisan itu, aku ragu, tak biasanya ibu dan kakakku memaksa aku pulang meskipun ayah di rumah sakit.
Dengan egoku, aku tetap tak pulang karena Jumat pagi aku harus ujian.

Keesokan harinya, aku sangat tak tenang dalam mengerjakan soal, bagaimana tidak, sebagian besar soal ujianku bersetting di IGD menceritakan tentang pasien yang tidak sadarkan diri. Semakin mengingatkanku pada Ayahku.
Aku bergegas menyelesaikan semua soal tanpa pikir panjang. Aku mahasiswa pertama yang meninggalkan ruang ujian di tengah ujian yang menurut sebagian besar orang susah. Bukan karena ujiannya mudah bagiku, tapi aku sangat khawatir pada ayahku.
Aku pun bergegas pulang ke kota asalku dan langsung menuju rumah sakit
●●●

Kondisi ayah sudah mulai membaik, aku turut bahagia, aku kira semua akan baik-baik saja. Aku tak dapat menjaga ayahku setiap hari. Hanya Sabtu dan Minggu aku bisa menemani Ayah..
Aku ingat betul, di minggu pertama itu, ayah memegang tanganku dengan erat. Beliau masih mengingatku, aku dan kakak perempuanku menidurkan Ayah karena beliau sulit tertidur.
Saat aku akan kembali ke Malang beliau mengucap "yang rajin ya"
Aku akan selalu mengingatnya.. sayang sekali aku harus melanjutkan kewajibanku belajar di kota Malang.
Beberapa hari setelah aku berada di Malang, aku mendengar kabar bahwa terjadi sesuatu pada Ayah sehingga nengharuskannya di rujuk ke Rumah Sakit Graha Amerta Surabaya.
Aku meninggalkan semua kegiatan di kampus pada hari Sabtu dan Minggu, karena aku sangat ingin bertemu dengan Ayah. Kakak-kakakku pun bahkan tak masuk kerja demi menjaga Ayah.
●●●

Saat aku datang, memasuki kamar rawat inap, ibu dengan santai menyapaku, dan mencoba ceria, menanyai ayahku tentang siapa aku.
Jawaban yang sangat tak ku sangka. Ayah tidak bisa mengingatku. Beliau hanya menjawab bahwa aku adalah Ica (kakakku). Ya setiap hari memang kakakku itulah yang merawat ayahku di rumah, bersama ibu dan kakak laki-lakiku, hanya aku yang jarang berada di rumah.
Tetes air mata yang kusembunyikan dari mereka berdua keluar perlahan. Aku terus berusaha mengingatkan ayah tentang diriku.
Kesadaran ayah memang sangat menurun. Dalam dunia medis ini disebabkam pasokan darah keotak sangat menurun sehingga oksigen tidak dapat mencapai otak, dan sel sel otak pun terganggu kerjanya.
Hari minggu pun tiba, dan aku harus segera kembali ke Malang.
Aku meninggalkan keluargaku dengan kondisi ayah yang seperti itu
●●●

Hari demi hari di Malang kujalani dengan ketidak tenangan, terlebih lagi minggu ketiga ini ayah harus menjalani operasi menggunakan anestesi total dengan kondisi jantungnya yang lemah. 5 orang dokter spesialis yang menangani ayah tidak mampu menjanjikan kesembuhan, karena memang Allah lah yang bisa menyembuhkan. Menurut dokter bedah dan dokter anestesi, risiko terbesar operasi ini adalah kematian karena memang keadaan umum ayah kurang bagus.

Aku, lagi lagi hanya bisa berdoa. Mendoakan kesembuhan dan yang terbaik untuk ayah, serta kekuatan dan kesabaran untuk ayah dan keluarga yang merawat ayah.
Sabtu pun tiba, aku segera pulang mengunjungi ayah.
Kali ini ayah berada di ruang yang berbeda lagi. Beliau dirawat di HDC (High dependence care). Kondisinya terlihat lebih baik dari minggu lalu, sesekali beliau bisa mengingatku. Tapi saat itu ayah semakin pasrah. Awal dulu ayah selalu meminta pulang, tapi saat itu, ayah sudah lebih sabar menghadapi sakitnya.
Aku lagi lagi tak sanggup berbuat apapun. Hanya tangis yang bisa mengungkapkan perasaan ketika aku melihat ayah seperti itu. Banyak sekali selang yang masuk dalam tubuh beliau, dari lengan hingga kaki. Seumur hidupnya, ini kali kedua ayah masuk rumah sakit, dengan kondisi yang bisa dibilang sangat parah.
Rumah sakit hanya memberi kesempatan pada keluarga pasien HDC untuk menjenguk pukul 11.00-12.00 dan 16.00-17.00. Aku pun sangat menanti nanti kesempatan agar bisa menemani ayah.
Namun sayang, hari minggu kembali datang dan aku harus segera pergi
●●●

Rabu pagi 29 April 2015 ibu menelponku dengan riang. Ibu bilang insya Allah jika nanti siang kondisi ayah tetap stabil maka ayah bisa pindah dari HDC ke kamar rawat inap biasa. Aku pun turut senang dan berdoa demi kebaikan ayah.
Namun, tiba-tiba sore hari, Mbak Ica menelponku, menyuruhku pulang, SEGERA, karena ayah kritis. Aku tak berani bertanya apapun. Aku tak dapat berpikir. Aku yang baru selesai mewawancara seorang anak dalam rangka open recruitment panita Medical Fiesta langsung berpamitan pada Ummi (Ketua pelaksana) dan Mas Naya (Direktur LSIM). Aku tak mampu memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.
Aku hanya berpikir aku harus sampai di rumah sakit secepatnya dengan cara apapun. Aku tak tahu jalanan di Surabaya, tapi untunglah Allah mengirimkan bantuan melalui seorang Bapak yang duduk disampingku saat di bus. Bapak itu memanduku untuk menaiki taxi sehingga aku bisa sampai di RS segera.
Saat aku tiba, ayah memang sudah keluar dari HDC, namun kini ke tempat yang lebih "buruk" lagi, yaitu ICU.
Aku tiba malam hari, sekitar pukul 8 malam. Hampir saja satpam ICU melarang aku masuk, namun aku memaksa. Akhirnya aku bisa memasuki area ICU dan melihat kondisi ayah. Aku benar-benar tak tega saat itu, aku tak ingin berlama-lama di dalam. Aku segera keluar..
Esok paginya, aku izin kuliah, aku menghabiskan sehari di rumah sakit. Siang hari aku menemani ayah. Hanya air mata yang bisa aku keluarkan di depan ayah dan kakak laki-lakiku. Aku tak menyembunyikannya lagi, karena memang ayah kini tak sadar. Bahkan aku memanggilnya pun ayah tak membuka mata.
Sangat miris. Aku tak kuasa, aku pun turun, keluar dari ICU, sholat. Setelah itu aku sudah lebih tenang dan bisa menemani ayah ke ICU hingga pukul 16.00 banyak kerabat datang menjenguk ayah. Aku pun harus mengalah, keluar karena tak boleh terlalu banyak orang datang. Hingga jam besuk habis, aku tidak dapat lagi melihat ayah.
Malam harinya setelah semua menjenguk, ibu atas saran dari kakak tertua ibu mengajak kami semua membaca yaasin sebanyak 44x, kami niatkan untuk kesembuhan ayah.
Setelah selesai membaca, semua bersiap untuk tidur di ruang tunggu. Tak seperti biasanya, sebelum tidur terbersit di pikiranku "jangan-jangan malam ini ayah tiba-tiba pergi dan aku tak bisa menemani di saat terakhirnya", tapi aku segera mengubur pikiran itu. Tidurku tak tenang, mendengar sedikit pengumuman saja aku terbangun.
Hingga dering telpon ibuku berbunyi, terbangunlah kami semua, aku, ibu, dan 2 orang kakakku. Kakak pertamaku yang menelpon ibu, menyuruh kami semua ke ICU karena kondisi ayah sudah sangat kritis. Kami pun berlari, namun lagi-lagi satpam ICU sangat menyebalkan. Ia tak bisa membedakan raut muka khawatir keluarga pasien dengan raut muka khawatir yang biasanya. Aku dan kakak perempuanku memaksa masuk, namun kakak laki-lakiku tetap di bawah.
Detak jantungku terdengar sangat keras di kepalaku. Aku tak bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya mendengar suara monitor ICU yang berbunyi dengan kencang, seperti di televisi ketika ada pasien meninggal. Aku tak dapat berpikir lagi, saat aku berlari aku hanya melihat dokter yang melakukan RJP pada ayahku.
Ibu dan kakak perempuanku pun menugaskan aku untuk turun dan memanggil kakakku yang tetap di bawah karena larangan satpam itu.
Ketika aku tiba dengan membawa kakakku, semua telah berakhir. Aku melihat kakak perempuanku turun, ibuku menangis, dan kakak pertamaku langsung mengelus kepalaku, ia berkata "ayah sudah ga ada, ikhlaskan ya"
Tubuhku semakin lemah, aku hanya bisa berjalan keluar, duduk, dan menangis, disamping 2 perempuan, ibu dan kakak perempuanku.

Ketika itu aku hanya memikirkan satu hal. Aku menyesal, aku belum melakukan banyak hal untuk membahagiakan ayah. Bahkan di saat-saat terakhinya pun, aku tak bisa berada di sisi ayah.
Berbeda dengan kakak-kakakku yang sempat berjuang begitu keras merawat ayah ketika beliau sakit.
Aku sama sekali belum memberikan pembalasan terbaik untuk jasa ayahku selama ini. Ayahku, kini sudah pergi untuk selamanya. Hanya doa yang bisa ku kirimkan untuknya.
Tepat 31 Mei 2015 malam hari sekitar pukul 22.30 WIB ayah meninggalkan kami semua. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Hari ini, saat aku menyelesaikan tulisan ini, merupakan hari ke 39 setelah ayah pergi.

Kini aku hanya memiliki seorang ibu. Ibu yang sangat kuat dan hebat.
Pesanku pada yang kedua orang tuanya masih ada. Berbaktilah, sekecil apapun yang bisa kau lakukan, lakukanlah, sebelum kau menyesal karena tak bisa lagi berjumpa dengan orang tuamu selamanya.