Sabtu, 28 Februari 2015

Mereka inginkanku tuk jadi

Kulihat log panggilan di telepon genggamku.
Didominasi 2 orang yang setiap hari memanggil. Yang satu selalu menanyakan:
1. Lagi dimana?
2. Sudah sholat?
3. Sudah makan?
Selalu menanyakan 3 hal ini dan selalu menasihati dan mengingatkan 2 hal terakhir. Selalu.
Dan yang 1 lagi selalu menanyakan:
1. Lagi dimana?
2. Gimana kabarnya? Gapapa?
3. Kapan pulang?
Pertanyaan wajib bagi mereka, selebihnya pertanyaan-pertanyaan yg selalu berubah.
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terlupa dalam setiap panggilan, hampir setiap hari, terkadang bahkan beberapa kali dalam sehari, menanyakan hal yang sama.

Lebih dari setahun hal ini terjadi, dan aku baru menyadari dan memahami sesungguhnya apa yang kedua orangtuaku inginkan.
Mereka selalu menginginkanku untuk menjadi anak yang taat kepada Allah, tak meninggalkan kewajiban meskipun sesibuk apa kegiatan perkuliahan yang sedang ku tempuh. Ya, meskipun sudah dewasa dan segala dosa yang aku perbuat bukan lagi menjadi tanggungan mereka, tapi mereka selalu menginginkan aku selamat, di dunia dan di akhirat.

Yang kedua, mereka ingin aku menjaga kesehatan, ini untuk kepentinganku sendiri utamanya. Nikmat sehat, memang nikmat yang sering terlupakan untuk disyukuri.

Dan yang terakhir, mereka ingin aku meluangkan waktuku, sesibuk apapun, untuk menemui mereka, meskipun hanya sekedar bersua. Mereka inginkan aku menengok mereka. Tak memaksa, tapi berharap. Satu lagi nikmat yang sering orang lupakan, yaitu waktu luang. Aku pun menyadari, bahwa pulang ke rumah adalah salah satu bentuk berbakti kepada orang tua. Hanya dengan pulang, meskipun aku tak membawa apa-apa, tak membawa harta ataupun prestasi, orang tuaku tetap bahagia, tersenyum lebar melihat kedatanganku. Meskipun di rumah aku juga tak banyak membawa manfaat bagi mereka, tapi kehadiranku di rumah cukup berarti bagi mereka. Anak mana yang tak ingin membahagiakan orang tuanya? Pulang adalah cara sederhana untuk menyenangkan orang tua, tapi cara sederhana ini tak semudah itu dilakukan. Aku pun menyadari dan selalu mengusahakannya, tapi orang tuaku tak meminta, mereka hanya bertanya penuh harap kapan anak bungsunya ini pulang dan menemui mereka.

Aku berpikir kembali, kenapa orang tuaku tak pernah bertanya "sudah belajar?". Orang tuaku, seumur hidupku, mulai aku TK hingga kini menempuh pendidikan dokter di kota orang, tak pernah menuntutku untuk memperoleh nilai yang bagus. Orang tuaku tak pernah mematok nilai, mengancam, atau bahkan menghukumku untuk urusan ini.

Aku terus berusaha memahami, kenapa? Di saat banyak cerita dari teman yang aku dengar menggambarkan bahwa orang tua mereka selalu menuntut mereka untuk menjadi juara kelas.
Orang tuaku, tak pernah sedikitpun.
Memang, jalan yang aku pilih sekarang adalah arahan dari orang tuaku. Menjadi mahasiswa kedokteran bukan sepenuhnya pilihanku, tapi aku tak masalah dengan hal itu, karena ketika itu ayah berpesan bahwa ayah ingin punya anak yang bermanfaat untuk orang banyak, menjadi dokter yang tidak money-oriented. Dan aku pun sepaham bahwa menjadi manusia haruslah bermanfaat untuk sesamanya.

Sedikit demi sedikit pemahamanku bertambah.
Orang tuaku, tak pernah menuntutku untuk menjadi orang yang hanya mengejar nilai, karena nilai bisa didapat dengan cara yang tak benar sekalipun. Orang tuaku, hanya ingin aku menjadi hamba yang taat kepada Tuhannya, menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya, dan menjadi sosok yang bermanfaat untuk sesamanya.

Dan kini, aku sungguh bahagia karena aku menulis ini di dalam kamarku, kamar yang aku tinggali semenjak SMA, setelah aku melihat rekahan senyum dari ayah dan ibu yang melihatku pulang.