Selasa, 21 Juli 2015

Bersembunyi di Balik Usia: Motivasi diri (Part 2)

Usia muda, usia tua, anak-anak, remaja, dewasa mempunyai masanya masing-masing.
Bayi hingga anak-anak adalah masa dimana kita belajar sambil bermain. Penuh ketulusan, kepolosan, keluguan, dan hidup tampak begitu mudah, tanpa masalah. Masalah anak-anak sebagian mungkin diselesaikan dengan menangis dan merengek, lalu orang tua sang anak lah yang menyelesaikan masalahnya.
Masa remaja, dimana seseorang mulai menggali dan mencari jati dirinya serta tumbuh menjadi seorang sosok yang cukup memiliki peran di masyarakat. Masa-masa ini merupakan penentu kehidupan seseorang di masa depan. Jika seseorang bisa terlepas dari kehidupan gelap remaja, kemungkinan besar ia akan tumbuh dewasa menuju kesuksesan. Namun, orang-orang yang terjebak dalam ruang gelap sebuah kehidupan remaja, kebanyakan karir mereka hancur, meskipun tidak menutup kemungkinan mereka dapat sukses dengan perubahan-perubahan yang mereka lakukan seiring berjalannya hari.
Seseorang mulai menentukan alur kehidupan apa yang akan mereka jalani pada masa SMA, dimana statusnya merupakan seorang remaja. Siswa SMA, mulai memandang masa depan dan menentukan lanjut ke jenjang perguruan yang lebih tinggi, ataukah mencukupkan pendidikannya. Jika lanjut pun, mereka harus menentukan bidang apa yang akan mereka geluti, profesi apa yang ingin mereka hayati
----
That's all
Ini adalah satu dari dua postingan yang ingin aku tulis ketika aku melihat ayahku diuji dan digugurkan dosa-dosanya oleh Allah SWT (22 Maret 2015)
Aku bahkan lupa ingin menulis apa karena saat itu aku terlalu sibuk hingga tak bisa menyelesaikan tulisan ini
Tapi yang pasti, ini untuk ayah, seseorang yang telah menginspirasiku, membuatku jatuh hati akan kepiawaiannya melakukan segala sesuatu.
Salah satu hal yang sangat aku ingat dari petuah ayah adalah "Tholabul 'ilmi minal mahdi ilallahdi" (semoga aku benar menuliskannya, belum sempat browsing lagi)
Ya.. itu lah ayahku.
Beliau adalah orang yang sangat gemar mencari ilmu, tak hanya ilmu agama, ilmu dunia pun ayahku tak memandangnya sebelah mata.
Ayahku, seorang hakim di Pengadilan Agama, dengan basic pesantrennya, melanjutkan studi S3nya di usia ke 58, tepat bersamaan denganku ketika mulai studiku di S1 Pendidikan Dokter.
Saat ayahku pergi, beliau sedang dalam penyelesaian S3nya, ujian publik untuk disertasinya tertunda karena kondisi kesehatannya yang berkurang, dan setelah itu ayahku pun diwisuda oleh ajal.
Beliau benar-benar menjalankan nasehatnya untukku.
Aku ingat betul saat ayah memberi petuah itu, ayah sedang memintaku membantu beliau menyiapkan berkas untuk mendaftar kuliah di Universitas Islam Bandung. Aku kurang tau bidang apa yg ingin beliau dalami, tapi yang aku tahu ayahku belajar hukum-hukum Islam.
Selain berpesan untuk menuntut ilmu sampai akhir hayat, ayah juga berpesan untukku, agar kelak dr. Bahira menjadi dokter yang baik, yang tidak hanya mencari materi, tapi justru memberi manfaat khususnya kepada kaum-kaum yang sangat membutuhkan dan terkendala biaya.
Ayah, terima kasih telah mendidikku selama ini.
Terima kasih telah menyekolahkanku sampai setinggi ini, semoga aku dapat menjadi amal jariyahmu.
Salam rindu,
dr. Bahira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar