"Raa, Ira, Ra..."
Aku langsung berlari menghampiri ayah.
Akhir-akhir ini ayah sering sekali menghabiskan waktunya di teras. Menduduki sebuah kursi kayu yang ayah beli dari toko meubel di daerah Pasuruan. Kursi itu baru-baru ini saja berada di luar. Sejak ayahku sering menghabiskan waktunya di teras rumah. 2 buah kursi kayu berwarna coklat. Satu untuk meletakkan badan ayah, dan satu untuk menyelonjorkan kaki ayah.
Ayah duduk di teras tepat di depan kamarku. Kami hanya dipisahkan oleh kaca kamar yang sekaligus menjadi dinding bagian depan kamarku. Cukup mudah bagi ayah jika sedang butuh sesuatu, ayah bisa memanggilku, atau dengan mengetuk kaca kamarku.
Tanpa aku berkata, ayah sudah bisa membaca maksud kedatanganku, ayah langsung mengutarakan keinginannya. "Tolong oleskan bedak di kaki ayah"
Berlari kecil, mengambil bedak bayi yang memang biasa digunakan untuk kaki ayah.
Kaki ayah terluka, seperti pecah, terbuka, terlihat daging merah muda yang bersih. Pedih, aku yakin itu sangat pedih.
Berjalan pun ayah sempoyongan, kakinya sakit.
Ibu telah membelikan ayah sepatu sandal, dari depan nampak seperti sepatu, tapi bagian belakangnya bukan sepatu. Sepatu ayah sudah beberapa lama tak digunakan karena ayah terlalu kesakitan jika dipaksa menggunakan sepatu, mungkin sesak, namun ayah tetap harus bekerja dengan rapih.
Ku oles bedak itu pelan-pelan, membalut seluruh luka di sela-sela jari kaki ayahku, kulihat ayah mengernyitkan muka, sedikit kesakitan. Tanpa banyak bicara aku melakukannya. Hanya miris melihatnya. Ayahku, kasian sekali.
"Sudah rata, yah".
"Iya, terima kasih, terima kasih banyak"
Kata-kata itu, selalu membuatku tak enak hati. Setiap kali aku melakukan sesuatu untuk membantu ayahku, ayah selalu berterima kasih padaku, bahkan untuk hal-hal yang terlalu sederhana, yang bagiku tak mengeluarkan tenaga, dan sangat tak perlu untuk diapresiasi.
Berbeda sekali denganku. Seorang anak dengan ego dan gengsi yang cukup tinggi. Terkadang aku meminta sesuatu pada orang tuaku atau kadang ayah dan ibuku memberiku sesuatu dengan cuma-cuma, tapi aku tak mengucap terima kasih kepada orang tuaku dengan lisan. Aku malu, padahal seucap terima kasih tidak akan menurunkan derajatku sama sekali. Justru sebenarnya derajatku memang sudah sangat jauh di bawah kedua orang tuaku.
Tapi anak kecil ini selalu belajar. Membunuh setiap gengsi dan berlatih mengucap terima kasih kepada orang tuanya.
"Seberapa banyak pun kamu berterima kasih, kamu tak akan bisa membalas jasa-jasanya. Catat, ingat!"
●●●
Hampir 3 bulan berlalu dari kepergian ayah. Ayah telah berlayar di alam baka.
Aku kini tak lagi mendengar panggilan dari depan kamarku.
Sesekali aku membuka gorden, mengintip ke luar, hanya ada kursi usang yang dulu menemani ayahku menghabiskan waktu di saat-saat terakhir hidupnya.
"Malang sekali kamu, kursi. Tak ada lagi yang mendudukimu kini."
Lalu ku tutup kembali kain penutup kaca itu.
Segala benda peninggalan ayahku kini menjadi perantara kami untuk mengenang ayah.
Aku dulu tak tau arti kenangan, tapi kini, aku benar-benar mengerti dan paham. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi kau akan tahu ketika kau kehilangan sesuatu yang sangat engkau cinta.
●●●
"Ra, kamu ga pengen beli cat? Vernis."
"Vernis tuh buat apa, bu?"
"Buat kayu, buat ngecat kursi ayah yang di depan itu. Udah jelek banget kan. Biar bagus lagi"
Saat itu, aku yang baru saja mengantar ibu dari Puskesmas untuk check up dan mengambil obat di apotek langsung saja mengarahkan mobil ke toko bahan bangunan milik Paman (Adik Ibuku).
"Mbak, beli"
"Eh, Ira. Beli apa?" Pegawai Paman yang sudah kukenal menyapaku, tapi sayangnya aku lupa nama Mbak ini. Payah memang aku ini.
Kujelaskan maksudku, ku pilih warna sesuai keinginanku, dan aku bertanya cara mengaplikasikannya. Hanya bermodal 35 ribu, aku dapatkan 1 wadah vernis dan 1 buah kuas untuk melakukan pemolesan.
Setibanya aku di rumah, aku tak langsung mengerjakan project-ku.
Hari cukup panas di Gresik, saat itu sekitar pukul setengah 1 siang.
Aku melakukan aktivitas seperti makan, sholat, menonton TV, dan bermain gadget karena siang itu aku tak bisa tidur siang.
Bosan dengan semuanya, aku mengambil jilbabku, vernis, dan kuas. Aku keluar menuju teras untuk melihat kondisi kursi ayah.
"Sangat usang dan jelek" batinku.
Aku mulai menyiapkan kebutuhan lain seperti lap dan air untuk membersihkan debu yang telah banyak menempel sejak ayahku tak lagi menduduki kursi itu.
Sebelum aku memulai pekerjaanku, kakak laki-lakiku datang. Ia membantuku dipermulaan untuk mengecat kaki kursi. Tapi aku tak tahan, tanganku sangat gatal.
"Sini, biar aku saja yang ngecat. Udah, aku bisa kok"
Dengan sedikit pemaksaan, akhirnya aku berhasil membuat kakakku menyerahkan kuasnya.
Gerakan tanganku mulai menyusuri setiap bagian dari kursi kayu itu.
"Ah ternyata capek juga ya jadi tukang" sedikit kuusap keringatku.
Setiap detik aku mengingat ayah sembari menjangkau detail-detail kecil kursi dengan kuasku.
"Perempuan harus bisa melakukan pekerjaan laki-laki" pesan ayahku dulu ketika beliau sehat.
"Kamu harus bisa melakukan apa-apa tanpa ayah."
Ayahku mengajarkanku bagaimana cara membandrek mobil mogok, mengganti lampu, memperbaiki yang bocor, memaku, mengecat, menggergaji, dan sebagainya.
Ayah selalu berpesan padaku untuk jadi perempuan yang mandiri.
Dan aku beruntung pernah mendapat banyak ilmu dari ayahku.
"Raaa, cucian belum selesai disetrika, udah ngerjain yang lain aja" ku dengar ibuku berteriak memanggilku.
"Aku bosan, biar aku kerjakan ini dulu, Bu" yaaa, aku tengah bosan menyetrika bajuku yang telah kering dan ku angkat dari jemuran.
"Ibu ini, ganggu aku nostalgia aja" aku hanya membatin, tapi aku juga tertawa melihat kelakuanku sendiri.
Kaki hingga badan kursi telah aku cat.
"Cantik sekali"
Ada sedikit rasa puas di hati, berhasil melakukan hal-hal yang dulu diajarkan ayah padaku. Ayah selalu mengajarkan kesederhanaan pada anak-anaknya. "Ayahku yang multitalenta, semoga engkau senang melihat anak kecilmu ini tumbuh dewasa, mencoba mandiri tanpamu."
Kursi ini akan segera bisa digunakan di dalam rumah. "Kau tak kan kesepian lagi di luar" ucapku pada kursi ayah.
Sebelumnnya aku telah memotret kursi itu, dan setelah dicat, aku sempatkan memotretnya lagi. Aku ingin tahu perbedaan before-after-nya.