Jumat, 04 Maret 2016

Pendamba Surga: Rasa yang Imatur

Shifa, Rania, dan Nina berjalan di lorong sebuah gedung. Mereka tak berbicara satu sama lain. Hening. Rupanya beberapa hal besar dalam hidup mereka terjadi dalam semalam.
Burung pagi ini pun tak berkicau. Seolah memberikan ruang untuk 3 dara ini berpikir. Hanya ada suara benturan air dan tanah. Ya hujan yang dari malam tak kunjung berhenti, semakin menambah ke-galau-an hati.

3 perempuan yang baru-baru ini memantapkan hati untuk memperbaiki diri dan berjuang menjadi muslimah sholihah, kini sedang dalam pergolakan hati. Hening. Mereka tak ubahnya sedang berada di goa masing-masing. Merenung, menggali dalam ke lubuk hati masing-masing. Mereka tak jauh berbeda dengan ikan yang tersesat dalam lautan, menyelam, hingga dalam.

"Eh.... seperti ada yang aneh dengan kalian berdua hari ini. Ada apa?"
Suara Shifa seketika itu memecah keheningan, seperti petir yang membelah langit. Ia sedang mencoba mengubah cuaca hati yang mendung menjadi cerah.

"Biasa.." keluh Rania
Shifa dan Nina pun segera memahami apa yang sedang Rania bicarakan.

"Aku juga sama" sahut Nina
"Kalau kamu kenapa Shif? Kamu tadi juga agak aneh" tanya Rania

"Yah, kalian tahu, masih seputar perasaan yang imatur"

Rupanya mereka bertiga sedang dilanda kebingungan yang sama. Masih di sekitar keinginan memiliki seseorang yang istimewa dalam relung hati. Hanya saja, mereka tak tahu bagaimana mengekspresikan sebuah gejolak yang bisa menjadi petaka itu.

Di tengah prosesnya memperlayak dan mempercantik diri dengan keshalehan, godaan ini datang.

Pernah dengar bukan seseorang yang sedang ingin melakukan kebaikan pasti akan diuji? Dan ketika seseorang mengatakan dia beriman, ia pun pasti akan diuji. Reaksi mereka akan mencerminkan berapa besar kadar keimanan mereka, seberapa kuat mereka menahan ujian dari-Nya, seberapa cinta mereka pada Dia yang memberikan kehidupan.

●●●

Mereka berasal dari kota yang berbeda, dengan latar belakang keluarga yang berbeda pula. Mereka tumbuh dewasa dengan suasana yang jauh berbeda, sehingga terbentuklah kepribadian dan pola pikir mereka. Ya memang berbeda, tapi perbedaan itu sungguh indah. Terjalin, teranyam, menjadi sebuah kelapangan, saling melengkapi dan menutupi lubang di setiap lembar anyamannya.

Dalam perjalanan meraih Ridho-Nya ini, mereka dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Mulai cibiran, pertentangan dengan keluarga, hingga permasalahan hati mereka sendiri. Dan perihal hati ini, memang menjadi masalah yang tak berujung. Terus dan terus ada. Berganti cerita dan memunculkan kisah demi kisah. Walau begitu, hati mereka tetap tertuju pada orang-orang yang sama.

●●●

To be continued...

Rabu, 02 Maret 2016

Tak Kuberi Judul

Memikirkan judul untuk tulisan ini cukup mengambil banyak waktu luangku. Ya waktu luang, waktu ini berharga, tapi apalah arti waktu jika aku tanpamu.

Memikirkan keindahan, mungkin seketika terlintas hamparan taman bunga yang sedang merekahkan senyumnya, tapi semua itu tak lebih indah dari menyaksikan bahagiamu, karena aku.

Jika orang bilang hidup memang diwarnai dengan penderitaan, maka penderitaan terbesarku adalah melihat kesedihanmu, lebih-lebih jika karena aku.

Jika orang berkata bahwa dalam hidup kita harus bersabar, maka kesabaran terbesar adalah milikmu. 

Sejak masa itu, kau menjagaku. Tanpa henti, tanpa lelah, dan tanpa keluh kesah.

Hingga kini, kau masih menjagaku. Dari kejauhan, dengan untaian doa yang mengetuk arsy-Nya. Doa-doamu terpilin dan teranyam erat, kuat, dan rapat. 

Bu, bisa apa aku tanpa kasih sayang yang kau curahkan?
Bu, bisa apa aku tanpa dukungan dan semua doa-doa yang kau panjatkan?
Bu, bisa apa aku?

Banyak sekali kesabaranmu yang ingin kumiliki.
Banyak sekali semangatmu yang ingin pula kukobarkan dalam diri ini.

Kekuatanmu, menginspirasiku.
Ketulusanmu, menenangkanku.
Ketaatanmu, menuntunku.

Bu, maafkan aku, aku tak tau judul apa yang pantas untuk ini.
Karena sesungguhnya aku tak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkanmu.
Ibu terlalu indah, terlalu luar biasa.

-Tons of Love-