Selasa, 12 Januari 2016

Marah

Siapa yang tak sakit hati melihat ibunya disakiti?

"Aku yakin semua orang, seperti apapun ibunya, pasti geram melihat orang lain tak menghargai ibunya.
Marah? Pasti."

Siapa yang tak muak melihat ketidakakuran saudara-saudaranya?

"Aku yakin, kita semua akan tidak nyaman berada di antara 2 orang yang tak saling menyapa.
Marah kepada mereka berdua? Mungkin saja."

Siapa yang tak sedih melihat anak-anak kecil dan perempuan tak bersalah dihabisi begitu saja?

"Aku yakin semua akan iba.
Marah? Sudah seharusnya."

Marah, benci, dendam. Haruskah?
Seperti apa seharusnya kita mengambil sikap?

Aku ingin marah
Semua pelakunya pantas dihukum
Tapi tak seharusnya aku membenci mereka

"Kenapa tidak?"

Mereka tetaplah hamba-Nya, ciptaan-Nya, dan mereka dalam kendali-Nya

"Lalu?"

Harusnya aku marah dan membenci perilakunya
Bukan pelakunya

Aku tak tahu bagaimana cara mengalihkan kebencian ini, kemarahan ini, dan semua rasa ini
Aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkan kebaikan untuk mengubah semua ini

Lemah
Ya, terlalu lemah untuk bersikap
Terlalu lemah untuk berkata
Tapi aku masih mampu berdoa

"Kenapa tidak kita pasrahkan saja semua pada Yang Mengabulkan Segala Doa?"

Ah, iya.
Benar sekali.
Tapi, itu pun tidak mudah.
Butuh keyakinan besar.

"Kenapa kau tidak yakin?"

Aku tahu
Semuanya bisa Allah lakukan !
Imanku memang naik turun.
Saat ini, kurasa aku hanya perlu berdoa, semoga imanku kembali.
Berdoa, dan berdoa.

"Mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat
Sholat adalah berdoa
Sabarlah dalam berdoa dan menanti kuasa Allah bertindak
Mengalahkan semua yang mungkin tak bisa kau percaya"

"Sebenarnya kau tak perlu bertanya padaku, karena kau sudah tahu jawabannya"

Ah, iya.

Rabu, 06 Januari 2016

Kembali pulang

Setiap orang punya kisahnya
Setiap orang punya masa lalunya
Setiap bagian dari masa laluku
Akan kusimpan dalam kotak kenangan
Kujaga dengan baik
Aku tak tahu bagaimana nanti masa depan
Dengan kepergianmu
Dan aku tak ingin menerka
Apakah dirinya menjadi bagian kisah ini?
Kelak di masa mendatang
●●●

Nafasku mulai tersengal. Lama tak berjalan kaki, sedikit saja berjalan sudah membuatku kelelahan. Aku segera memasuki angkutan kota yang tak berpenumpang. 2 pikiranku bercakap.
"Hmmm bahaya ngga ya kalau naik? Sendirian gini"
"Udah jangan su'udzon, si bapak lagi nyari rejeki, biar dapur tetep ngebul"

Aku memang memutuskan naik angkutan untuk menuju ke terminal. Karena aku berpikir aku baru akan kembali ke kota itu lebih lama dari biasanya. Oleh karena itu aku harus berjalan dari tempat tinggal sementaraku di kota ini, Kota Malang, menuju tempat pemberhentian angkutan kota. Sebenarnya tidak ada kepastian apakah aku akan segera kembali, atau mendapat libur yang lebih lama. Tapi aku berharap yang kedua.

Perjalanan hari ini kulalui dengan sedikit menunggu dan banyak menanti. Aku sedang merindu saat aku berusaha menghabiskan novel dengan judul Rindu yang kubeli bulan November 2014, namun baru sempat kubaca hari ini, Januari 2016.

Cukup lama aku menunggu bus yang kucari. Baris tiap baris kalimat dalam buku yang sedikit tebal itu kususuri. Penuh pertanyaan dan nasihat.

"Sesungguhnya hidup kita ini adalah suatu perjalanan, perjalanan menuju mati" begitulah kira-kira nasihat yang paling jelas kusimpan dalam diri ini. Aku segera menutup buku itu, kurasa mataku tak kuat membaca tulisan dengan goyangan dari bus yang melaju kencang penuh kelokan, mendahului segala macam kendaraan di depannya. Kanan, kiri, kanan, kiri, kurang lebih seperti itulah lajur jalan yang dilewati bus untuk sampai segera di terminal Bunder

●●●

Gresik, daerah asalku, begitu panas. Bajuku basah, seperti disiram air. Bukan air segar, tapi peluh keringat yang menetes satu persatu tanpa henti. Aku memasuki pintu rumah yang tak terkunci.
"Assalamu'alaikum"
Hanya ada jawaban dari Yu Ya, asisten rumah tangga sekaligus orang yang merawatku sejak kecil. Aku pun segera mencari ibu. Pendengaran ibuku memang sedikit berkurang. Sepertinya itu komplikasi dari penyakit diabetes yang dideritanya dan ditambah efek samping obat yang dulu pernah dikonsumsi ibu.

Pukul 1 siang adalah saat aku memasuki rumah dan melihat jam dinding di ruang tamu. Aku terlalu gerah. Kubersihkan badanku sebelum selanjutnya aku menunaikan sholat.

Aku mulai memasuki kamar. Rasa itu muncul lagi, tanpa permisi. Tiba-tiba rasa senang yang kuperoleh setelah menginjakkan kaki di halaman rumah dan mencium tangan iby, pudar. Tergantikan rasa sedih dan takut. Kupandangi frame yang menempel di dinding kamarku. Kusadari, ayahku telah tiada. Aku selalu mengingat kepergian ayah jika pulang ke rumah ini. Aku teringat kembali, hidup ini adalah perjalanan menuju mati. Dan ayahku, telah lebih dulu berangkat, meninggalkan aku, ibu, dan 3 kakakku.
Aku berpikir, bagaimana jika setelah ini aku? Aku bahkan tak punya cukup bekal untuk perjalanan panjang itu.

Setelah meng-aamiin-kan doa-doaku. Perut ini sepertinya sudah memberi panggilan bahwa dia butuh asupan. Segera kupenuhi dan aku pun segera melanjutkan bacaanku. Setiap babnya, kuhayati. Kubaca perlahan.

Ada lima pertanyaan yang harus dijawab dalam novel itu, dan 3 diantaranya ada dalam hidupku.

●●●

Hari keduaku di rumah, aku masih saja memegang bacaan itu, karena semalam aku tertidur ketika membacanya.
Hari ini kukhatamkan semua paragraf di dalamnya. Hatiku begetar.  Bersitegang melawan perasaan-perasaan yang muncul. Tentang kemunafikan, jatuh cinta, dan kehilangan.

Pertanyaan tentang kehilangan telah terjawab.
Pun tentang jatuh cinta.
1. Setidaknya, mengikhlaskan adalah jalan keluarnya.
Kita tidak tahu mana yang baik bagi diri kita.
Kita sudah sering mendengar nasehat
"Boleh jadi apa yang kita inginkan, bukanlah apa yang kita butuhkan"
Nasehat itu semakin merasuk, meresap ke qalbu, lebih dari meresapnya kecap ke dalam daging ayam yang dimasak.
2. Lepaskan
"Jika itu memang untukmu, kelak pasti datang, dari mana saja, dengan cara apa saja"

Satu pertanyaan terakhir. Mungkinkah seorang perempuan 20 tahun ini adalah orang yang paling munafik di dunia?
Orang bisa dengan mudah menasehati, merangkai kata, dan membagi kebaikan, tapi melakukannya sendiri bukan perkara mudah.

Pertanyaan itu terus saja berputar-putar tanpa jawaban.
Kali ini aku menyerah. Memilih mencari jawabannya di lain kesempatan.
Tapi setidaknya perasaan dan pikiran yang dulu berkelana, merasakan dan memikirkan rasa yang tumbub tak wajar, kini telah pulang.
●●●

Terkadang, jawaban dari pertanyaan dalam hidupmu dapat kau temukan dari orang lain. Namun kadang, waktulah yang akan menjawabnya.
Kita lihat saja nanti :)